Notification

×

Iklan

Iklan




Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pokok Buah Pikiran Anggota DPRD Bukan Diartikan Jatah Proyek

9/08/2023 | 10:33 WIB | 0 Views Last Updated 2023-09-08T03:33:23Z


Oleh : Ir. H. Syaifullah Djafar, M.Si 


Pokir DPRD adalah singkatan dari “Pokok-Pokok Pikiran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Pokir adalah DOKUMEN yang berisi pandangan, usulan, atau rekomendasi dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait dengan perencanaan pembangunan daerah. Biasanya, Pokir disusun dalam rangka menyusun rencana pembangunan daerah, APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), atau kebijakan-kebijakan penting lainnya.
Dalam Pokir, anggota DPRD dapat menyampaikan prioritas, aspirasi, atau masukan terkait dengan berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lainnya. Dokumen ini menjadi dasar bagi DPRD dalam berdiskusi merumuskan kebijakan, serta mempengaruhi alokasi anggaran untuk berbagai program dan proyek di tingkat daerah. Penyampaian prioritas, aspirasi atau masukan dalam rangka POKIR, dilaksanakan dalam FORUM OPD / MUSRENBANG, dan dibahas dalam Forum pembahasan  KUA/PPAS (Kebijakan Umum Anggaran / Prioritas Plafon Anggaran Sementara), antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Pokir juga dapat mencerminkan kepentingan masyarakat yang diwakili oleh DPRD dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. 
Mekanisme alokasi pagu anggaran Pokir melalui penjatahan kepada setiap anggota DPRD tidak selalu dibenarkan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penganggaran yang baik. Penganggaran yang sehat dan transparan seharusnya didasarkan pada kebutuhan nyata dan prioritas pembangunan daerah, bukan sebagai penjatahan kepada setiap anggota DPRD.
Proses alokasi anggaran harus mempertimbangkan aspek-aspek berikut:
1. Prioritas Pembangunan: Anggaran Pokir harus digunakan untuk mendukung prioritas pembangunan daerah yang telah ditetapkan berdasarkan perencanaan yang matang. Penentuan alokasi harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat dan sektor-sektor yang memerlukan dukungan.
2. Transparansi: Proses alokasi harus transparan, dengan penjelasan yang jelas tentang bagaimana keputusan tersebut diambil dan mengapa suatu proyek atau program dipilih.
3. Efisiensi dan Efektivitas: Anggaran Pokir harus digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai hasil yang maksimal. Ini termasuk pemantauan dan evaluasi terhadap penggunaan dana.
4. Kepentingan Publik: Alokasi anggaran harus memprioritaskan kepentingan publik, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.
5. Kepatuhan Hukum: Seluruh proses penganggaran harus mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk ketentuan-ketentuan tentang penggunaan anggaran Pokir.
Mengalokasikan anggaran Pokir berdasarkan mekanisme penjatahan kepada setiap anggota DPRD dapat meningkatkan potensi penyalahgunaan anggaran dan konflik kepentingan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjalankan proses alokasi anggaran secara profesional, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip penganggaran yang baik untuk memastikan penggunaan yang efektif dan tepat sasaran dari dana tersebut.
Berkaitan dengan pokir, Pada prinsipnya, anggota DPRD seharusnya TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN untuk menentukan besaran NILAI PAKET pekerjaan. Penentuan besaran nilai paket pekerjaan adalah bagian dari proses PERENCANAAN, PENGADAAN, dan PENGANGGARAN yang seharusnya dilakukan oleh Instansi yang berwenang di pemerintahan (OPD),  yakni unit kerja (Dinas / Bidang / UPT) atau Unit Layanan  pengadaan barang/jasa daerah yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pengadaan.
Anggota DPRD seharusnya fokus pada peran pengawasan, pembahasan kebijakan, dan alokasi anggaran. Mereka dapat memberikan masukan dan rekomendasi terkait prioritas proyek atau program, namun penetapan NILAI PAKET pekerjaan harus didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan proses perencanaan (Survey dan Disain) yang dilakukan oleh OPD sesuai dengan ketentuan teknis yang berlaku. Penetapan nilai paket pekerjaan yang secara nyata bertujuan untuk menghindari proses pelelangan (nilai paket dibawah 200 jt), merupakan modus yang sangat umum dan sangat nyata yang biasanya dilakukan oleh DPRD dan OPD, yang masih terus terjadi sampai saat ini.
Pelibatan anggota DPRD dalam penentuan nilai paket pekerjaan secara langsung bisa menjadi masalah ETIKA dan dapat menimbulkan potensi KONFLIK KEPENTINGAN. Dan bertentangan dengan tugas dan peran anggota DPRD itu sendiri yakni sebagai legislator dan pengawas.

Dalam hal CALON PENYEDIA JASA , anggota DPRD seharusnya TIDAK memiliki kewenangan untuk menentukan calon penyedia jasa atas suatu paket pekerjaan. Penentuan calon penyedia jasa atau pelaksana pekerjaan adalah bagian dari proses pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dilakukan oleh Unit layanan pengadaan barang/jasa daerah atau unit kerja yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam prinsipnya, anggota DPRD seharusnya memfokuskan peran mereka pada pembahasan kebijakan, pengawasan, dan alokasi anggaran. Mereka dapat memberikan masukan dan rekomendasi terkait prioritas proyek atau program, namun penentuan CALON PENYEDIA JASA harus dilakukan dengan transparansi, integritas, dan sesuai dengan prosedur pengadaan yang berlaku.
Menggunakan pengaruh politik atau posisi dalam DPRD untuk menentukan calon penyedia jasa dapat menciptakan potensi konflik kepentingan , pelanggaran etika dan Pelanggaran Hukum
Penunjukan langsung (PL) pada pengadaan pekerjaan dalam rangka POKIR, seharusnya menjadi pilihan yang terbatas dan harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Instansi atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus mematuhi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan persaingan yang sehat dalam pengadaan pekerjaan.
Penunjukan langsung biasanya hanya dibenarkan dalam kasus-kasus tertentu yang diatur dalam undang-undang atau peraturan yang berlaku. Contoh-contoh situasi di mana penunjukan langsung mungkin dibenarkan termasuk, antara lain : 

1. Kondisi darurat yang mengancam keselamatan publik.
2. Jika hanya ada satu penyedia jasa yang dapat memenuhi persyaratan teknis tertentu.
3. Jika pekerjaan tersebut merupakan lanjutan dari kontrak sebelumnya yang tidak dapat diberikan kepada penyedia lain.
4 . Nilai Paket Pekerjaan di bawah 200 jt.
Bahkan dalam prosedur penunjukan langsung pun, transparansi dan integritas tetap harus dijaga. Prosedur-prosedur yang sesuai dan dokumentasi yang akurat harus ada untuk memastikan bahwa penunjukan langsung dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang / kekuasaan.

Penyalahgunaan wewenang dalam penentuan anggaran Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) dan penunjukan penyedia jasa dalam konteks pemerintahan dapat memiliki konsekuensi hukum yang SERIUS, antara lain : 
1. Pelanggaran Hukum (Pidana) Tindakan penyalahgunaan wewenang dalam penentuan anggaran dan pemilihan penyedia jasa dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Ini dapat melibatkan pelanggaran terhadap undang-undang pengadaan barang/jasa, etika pemerintah, atau peraturan lain yang mengatur tugas dan tanggung jawab anggota DPRD dan instansi pemerintah (OPD)
2. Tuntutan Hukum (Perdata) Individu atau kelompok yang merasa dirugikan oleh penyalahgunaan wewenang tersebut dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap anggota DPRD atau instansi pemerintah yang terlibat. Tuntutan ini dapat berupa gugatan perdata atau pelaporan ke lembaga penegak hukum.
3. Sanksi Administratif: Anggota DPRD atau pejabat pemerintah yang terlibat dalam penyalahgunaan wewenang dapat dikenai sanksi administratif, seperti pemecatan atau penonaktifan dari jabatan mereka.
4. Kerugian Keuangan: Penyalahgunaan wewenang dapat berdampak pada kerugian keuangan bagi negara atau daerah. Dalam beberapa kasus, pelaku penyalahgunaan wewenang dapat diwajibkan untuk MENGEMBALIKAN dana yang telah disalahgunakan.
5. Reputasi Rusak: Terlibat dalam penyalahgunaan wewenang dapat merusak reputasi anggota DPRD atau instansi pemerintah (OPD), yang dapat berdampak pada karier mereka dan citra pemerintah daerah secara keseluruhan.
6. Pengawasan dan Investigasi: Penyalahgunaan wewenang dapat memicu investigasi oleh otoritas pengawas atau lembaga pemerintah yang berwenang untuk mengawasi perilaku anggota DPRD dan OPD (misalnya investigasi dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan dan Kepolisian)


*) Purna PNS, jabatan terakhir sebagai 
Kepala Dinas Binamarga dan Penataan Ruang 
Provinsi Sulawesi Tengah


--- oOo ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update