Alasanews.com|Pontianak, 1 Mei 2025 – Pelabuhan Internasional Kijing yang diresmikan pada 2022 sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) kini kembali menjadi sorotan. Sebagai pelabuhan pengganti Dwikora di Pontianak yang memiliki keterbatasan teknis dan geografis, Kijing digadang-gadang menjadi tulang punggung ekspor komoditas unggulan Kalimantan Barat. Namun, hingga saat ini, pelabuhan yang terletak strategis di Selat Karimata itu dinilai belum menunjukkan performa optimal.
Menurut pakar hukum dan kebijakan publik, Dr. Herman Hofi Munawar, Pelabuhan Kijing seharusnya menjadi ikon kebanggaan masyarakat Kalbar sekaligus motor pertumbuhan ekonomi daerah. “Dari segi posisi geografis, Kijing berada pada jalur pelayaran internasional yang sangat dekat dengan pasar ekspor utama seperti India, Tiongkok, dan Asia Timur. Tapi potensi besar ini tidak dimaksimalkan secara serius,” kata Herman.
Ia menyoroti bahwa hingga kini fasilitas vital seperti crane, tangki timbun, dan infrastruktur pendukung lainnya masih belum memadai. Padahal, komoditas unggulan Kalbar seperti Crude Palm Oil (CPO), bauksit, dan karet sangat membutuhkan pelabuhan ekspor yang efisien.
“CPO adalah penyumbang ekspor utama Kalbar, dengan volume produksi sekitar 4,3 juta ton per tahun. Jika 3 juta ton saja diekspor melalui Kijing, potensi pajak ekspornya bisa mencapai Rp1,5 triliun per tahun. Tapi karena keterbatasan fasilitas dan buruknya akses jalan, sebagian besar ekspor masih dilakukan melalui pelabuhan di luar Kalbar,” jelasnya.
Herman menekankan bahwa penyebab utama stagnasi ini bukan hanya pada sisi infrastruktur fisik, melainkan juga lemahnya tata kelola. Operator pelabuhan, dalam hal ini PT Pelindo Pontianak, dinilai belum menunjukkan keseriusan membangun ekosistem pelabuhan yang terintegrasi.
“Manajemen PT Pelindo masih menunjukkan pola lama yang kurang adaptif terhadap kebutuhan industri. Bahkan kecenderungannya lebih mengakomodasi anak perusahaan sendiri untuk mendominasi usaha bongkar muat (PBM), bukan membuka ruang bagi pelaku usaha lokal dan investor strategis,” ujar Herman.
Tak hanya soal teknis dan manajemen, integrasi Pelabuhan Kijing dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mempawah pun dinilai belum menunjukkan kemajuan berarti. Padahal, keberadaan KEK diharapkan dapat mendukung hilirisasi komoditas seperti CPO agar nilai tambahnya bisa dinikmati langsung di daerah.
Akses jalan yang belum layak juga menjadi sorotan. “Perjalanan dari Pontianak ke Kijing yang memakan waktu lebih dari 3 jam jelas tidak efisien. Industri tentu memilih pelabuhan dengan biaya dan waktu logistik yang lebih singkat. Ini harus jadi prioritas pembangunan,” tambahnya.
Menurut Herman, pembenahan Pelabuhan Kijing jauh lebih mendesak dibandingkan dengan upaya Pemda mengejar status Bandara Supadio sebagai bandara internasional. “Meningkatkan status bandara memang penting, tapi dampak ekonomi langsung dari optimalisasi pelabuhan jauh lebih besar dan konkret. Lewat pelabuhan, Kalbar bisa langsung terhubung ke rantai pasok global dan memperkuat kemandirian fiskal melalui pajak ekspor,” pungkasnya.
Ia menyerukan agar pemerintah pusat dan daerah mempercepat evaluasi terhadap pengelolaan Pelabuhan Kijing dan segera melakukan revitalisasi menyeluruh, termasuk membuka investasi untuk pengadaan fasilitas strategis seperti tangki timbun dan alat bongkar muat modern.
“Kalbar butuh keberanian dan ketegasan dalam menjadikan Kijing sebagai pelabuhan utama ekspor. Jika tidak, kita akan terus menjadi penonton dari potensi besar yang kita miliki sendiri,” tutup Herman Hofi Munawar.
Sumber : Dr.Herman Hofi Munawar(Pengamat Kebijakan publik)
Editor/Gugun


