ALASANnews.com,TOLITOLI — Di sebuah rumah sederhana di Desa Buntuna, Kabupaten Tolitoli, kisah seorang anak yatim bernama Ulfa tiba-tiba menjadi sorotan publik. Gadis kecil itu disebut-sebut kesulitan mendapatkan haknya sebagai penerima Program Keluarga Harapan (PKH) setelah sang ayah meninggal dunia. Video dan unggahan di media sosial yang menarasikan kondisi Ulfa pun cepat viral, memantik simpati sekaligus kegelisahan masyarakat.
Bupati Tolitoli H. Amran Yahya, Kamis (18/9), segera menanggapi kabar tersebut. Dengan nada tegas, ia menepis anggapan bahwa pemerintah daerah menutup mata terhadap nasib anak-anak yatim maupun warga tidak mampu. “Tidak ada niat pemda menelantarkan mereka. Ulfa akan tetap menerima PKH. Itu haknya,” kata Amran kepada wartawan.
Menurut Amran, ia bersama wakil bupati sudah mendatangi langsung rumah Ulfa. Pertemuan itu menjadi ajang klarifikasi sekaligus bukti bahwa pemerintah daerah ingin memastikan bantuan sosial tidak terputus. “Kami ingin masyarakat tahu, perhatian pemerintah tetap ada. Tidak mungkin kami biarkan,” ujarnya.
Masalah yang dihadapi Ulfa, kata bupati, lebih bersifat administratif. Karena pencairan PKH dilakukan melalui sistem perbankan, proses verifikasi dokumen menjadi hal yang wajib dilalui. “Setelah berkas diperbaiki, Ulfa tetap akan menerima haknya. Tidak ada yang berubah,” tegasnya.
Pernyataan ini menjadi penegasan penting di tengah derasnya arus opini publik yang terbentuk di media sosial. Dalam narasi yang beredar, Ulfa seakan terhalang birokrasi yang berbelit, dan pemerintah daerah dianggap abai. Namun, klarifikasi bupati menyoroti dimensi lain: pentingnya prosedur formal agar bantuan tepat sasaran sekaligus terhindar dari masalah hukum di kemudian hari.
Meski begitu, kasus Ulfa menyodorkan kenyataan getir: satu peristiwa kecil bisa menjadi gambaran rapuhnya sistem perlindungan sosial di daerah. Publik teringat kembali bahwa anak yatim, janda, dan keluarga miskin masih menjadi kelompok rentan yang mudah terpinggirkan, apalagi bila mekanisme bantuan terlalu birokratis.
Amran menekankan, pemerintah daerah bersama pendamping PKH akan mengawal langsung proses administrasi Ulfa. Ia ingin memastikan bahwa kasus ini menjadi pelajaran agar komunikasi publik lebih baik dan masyarakat tidak mudah disesatkan oleh potongan informasi di media sosial. “Kami bersama pendamping PKH akan bantu sampai selesai,” pungkasnya.
Bagi Ulfa dan keluarganya, perhatian ini berarti lebih dari sekadar angka nominal bantuan. Ini adalah simbol bahwa negara masih hadir di tengah mereka. Bahwa sebuah janji perlindungan sosial bukan hanya jargon di atas kertas, melainkan harapan nyata yang bisa dipegang.
Kasus ini sekaligus menandai dinamika baru di era digital: suara seorang anak dari pelosok bisa menggemparkan ruang publik nasional. Dan pada akhirnya, yang dituntut masyarakat sederhana—kepastian bahwa tidak ada satupun Ulfa lain yang dibiarkan terabaikan.whyu.


