ALASANnews.com, Tolitoli — Di tengah sorotan publik dan evaluasi ketat Badan Gizi Nasional (BGN), dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kecamatan Galang, Kabupaten Tolitoli, justru mendapatkan gelombang dukungan dari warga setempat. Mereka menilai dapur yang dikelola oleh Yayasan Karina itu masih menjadi tumpuan banyak keluarga miskin dan tidak selayaknya ditutup sepenuhnya.
Senin (29/9), Ketua Yayasan Karina Kahar Akib, S.E., bersama tiga pilar pemerintahan di kecamatan itu — Camat Galang, Kapolsek, dan Danramil — serta sejumlah awak media, mengunjungi kediaman dua warga yang diduga mengalami keracunan pekan lalu. Kunjungan itu menjadi momen penting, mempertemukan pihak yayasan, aparat, dan masyarakat dalam satu ruang percakapan terbuka.
“Kalau bisa segera jalan lagi,” ungkap Ibu Amali, salah satu warga yang rumahnya disambangi rombongan. Dengan mata berkaca-kaca, ia menegaskan bahwa dapur MBG telah membantu banyak keluarga yang kesulitan ekonomi. Menurutnya, insiden keracunan harus dijadikan pelajaran, bukan alasan untuk memutus layanan.
Suara serupa juga datang dari Kepala Desa Sandana, Sofyan Jalal. Ia berharap ada langkah perbaikan menyeluruh agar insiden semacam ini tidak terulang. “Yang terpenting bukan penutupan, melainkan evaluasi. Kita harap ada perbaikan agar ke depan tidak ada masalah lagi,” ujarnya. Pernyataan itu disambut anggukan dari para tokoh setempat.
Ketua Yayasan, Karina Kahar Akib, mengakui bahwa insiden tersebut di luar kendali pihaknya. “Kami selama ini berusaha sebaik mungkin, semua karyawan bekerja sesuai SOP. Tidak ada unsur kesengajaan. Kami memohon maaf kepada keluarga yang terdampak,” katanya dengan nada rendah hati. Ia menegaskan komitmennya untuk memperbaiki sistem pengawasan di dapur yayasan.
Bagi banyak warga, dapur MBG bukan sekadar program bantuan pangan, melainkan simbol solidaritas sosial di daerah yang masih menghadapi kesenjangan kesejahteraan. Setiap hari, ratusan keluarga menggantungkan harapan pada menu sederhana yang diolah di dapur itu — dari nasi hangat, lauk pauk bergizi, hingga kudapan untuk anak sekolah.
Namun, kasus keracunan pekan lalu memunculkan dilema. Di satu sisi, keamanan pangan menjadi prioritas yang tak bisa ditawar. Di sisi lain, menutup dapur berarti mencabut sumber penghidupan sekaligus pengharapan bagi masyarakat kelas bawah. “Ini semacam pisau bermata dua,” kata seorang jurnalis lokal yang ikut meliput kunjungan.
BGN sendiri sebelumnya telah menonaktifkan sementara 56 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di berbagai daerah menyusul serangkaian insiden serupa. Dapur MBG Galang menjadi salah satu yang disorot, meski reaksi publik menunjukkan nada yang lebih lunak dibandingkan di tempat lain.
Bagi Karina, tantangan ke depan tidak hanya soal standar keamanan pangan, tetapi juga bagaimana membangun kembali kepercayaan publik. Ia menegaskan akan bekerja sama dengan pemerintah kecamatan dan forkopincam untuk memperketat kontrol mutu, mulai dari distribusi bahan makanan hingga higienitas dapur.
“Ini ujian berat,” ujar Karina sebelum meninggalkan rumah salah satu korban. “Tapi kalau kita bisa melewati dengan perbaikan nyata, dapur MBG akan kembali berdiri lebih kuat, lebih aman, dan tetap menjadi rumah bagi harapan masyarakat kecil.”***
Wahyu


