Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Integritas: Sebuah Ujian di Tengah Keterpurukan Sistem

| 12:23 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-21T05:23:09Z

 


Oleh: Dr. Nur Sang Adji

Pagi ini, saya menerima kiriman empat video dari grup WhatsApp negarawan muda. Ada bupati yang marah kepada menteri, lurah yang mengadu kepada presiden, hingga ketua RT yang murka kepada kepala negara, gubernur, dan bupati sekaligus. Yang terakhir, ada video yang tidak hebat, tapi unik: tentang penyesalan seorang bupati karena gaji yang diterimanya terlalu kecil.


Banyak komentar menghardiknya. Namun, saya justru memujinya. Inilah contoh pejabat yang jujur, yang bicara apa adanya. Karena kondisi yang dialami para bupati seperti itu, korupsi, kata beliau, bukan hanya terpaksa tetapi harus. Inilah faktanya, jadi mengapa kita terus bernegara dalam kepura-puraan?


Jika ia bilang baru tahu setelah menjadi bupati, anggaplah begitu. Maka, semua calon bupati mutlak diberitahu terlebih dahulu bahwa gaji bupati itu kecil. Siap menderita (mencontoh leadership Umar bin Abd Azis). Atau, kebijakan perlu diubah. Tunjukkan angka nominal yang logis, baru kemudian penegakan hukum bisa diperketat sesudahnya.


Pandangan antagonis datang dari dunia kampus. Guru saya di UNTAD, Drs. Syafrudin, M.Sc., pernah berargumen ketika orang menuntut gaji guru dan dosen dinaikkan. Ia bilang, tidak perlu. Alasannya, agar terpilah emas dan pasir. Maksudnya, agar yang menjadi guru atau dosen hanyalah mereka yang dedikasi pengabdiannya sangat tinggi, karena mereka mendidik manusia.


Beliau melanjutkan, kalau gajinya tinggi, maka semua orang berlomba menjadi guru atau dosen. Bahkan mereka yang tidak pantas dan tidak berdedikasi pun ikut serta. Dari sinilah, kehancuran peradaban dimulai. Sementara itu, peradaban dibangun dari kejujuran, kebenaran, dan keteladanan. Dengan sedikit apologi, saya menyela beliau, "Bukan naikkan gaji, tapi berilah nominal yang pantas atau layak." Beliau hanya menanggapinya dengan senyum.


Beliau sudah wafat, semoga rahmat dan ampunan menyertainya. Andaikan belum wafat, beliau akan menyaksikan bagaimana orang berlomba menjadi guru dan dosen dengan berbagai cara. Dunia akademik pun begitu. Orang bisa bersekongkol untuk memberi gelar dalam proses akademik.

Sebenarnya, meloloskan atau menjegal dengan cara curang adalah tradisi purba yang terawat hingga kini, bahkan di dunia perguruan tinggi sekalipun, tempat kaum terpelajar berkumpul. 


Namun, Universitas Gajah Mada ( UGM) pernah memberikan contoh mulia: mencabut gelar doktor dari seorang ternama di republik ini, lantaran cacat akademis (sebuah masalah integritas). Seandainya masih hidup, Pak Syafrudin juga akan melihat bagaimana gaji dan tunjangan dosen, terutama yang menjabat, membengkak jauh meninggalkan standar nasib semasa hidupnya. 


Tapi, sudahlah, biar menjadi urusan masing-masing. Menyoalnya akan dikategorikan menyebarkan kebencian.

Saya mendapatkan cerita lain dari Kanda Rudi Rauf, Bupati Buol saat itu, tentang Kanda Ale, Bupati Tolitoli saat itu. Dalam sebuah pertemuan para bupati se-Indonesia, setelah arahan presiden agar bupati tidak mengambil uang rakyat, Kanda Ale berdiri dengan gaya khasnya, lantang menginterupsi presiden.


Beliau menyela, "Kami tidak ambil uang rakyat, Pak Presiden. Kami ambil dari pengusaha..." Kemudian, ia mengonfirmasi dalam pertanyaan oratoris kepada para bupati lain, "Betul kan..? Betul kan..?" Ia mengulanginya berkali-kali. Banyak bupati yang setuju sambil memberi semangat dan tepuk tangan. Ada juga yang geleng-geleng kepala. Saya yakin, sebagian dari mereka bukan karena tidak setuju, tetapi mungkin karena malu atas kebiasaan mereka.


Bagi saya, ini pernyataan berani dan gentleman dari seorang bupati. Tapi, apa solusi negara untuk ini? Sejak dahulu, gaji memang kecil, namun mereka didukung dengan TF yang besar (non-budgeting). Kabarnya, sekarang sudah tidak. Maka, jalan teraman adalah kolaborasi korporatif, terutama pada proyek infrastruktur hingga eksploitasi SDA. Jika semua proyek infrastruktur diperiksa dengan pembuktian terbalik, apriori, banyak yang bermasalah hukum.


Tahun 90-an, saya ikut dalam sebuah diskusi anti-korupsi bersama Teten Masduki, yang kala itu memimpin ICW. Ada satu anekdot yang beliau ungkap tentang PNS Indonesia dan PNS Amerika. PNS AS menjelaskan gaji dan penggunaannya kepada PNS Indonesia: "Gaji saya $1000. $500 untuk konsumsi, $100 untuk pendidikan, $100 untuk transportasi, dan $100 lagi untuk rekreasi." Lalu, PNS Indonesia penasaran, "Terus, $200 lagi untuk apa?" Si Amerika menjawab dengan tenang, "confidential".


Si Amerika lanjut bertanya kepada PNS kita. "Saya punya gaji Rp 3 juta. Rp 2 juta untuk konsumsi harian keluarga, Rp 1 juta untuk pendidikan anak, Rp 500 ribu untuk transportasi, dan Rp 500 ribu lagi untuk rekreasi." Heran dan penasaranlah PNS Amerika ini. "Loh, itu kan sudah lebih Rp 1 juta. Anda dapat dari mana satu juta tersebut?" Dengan santai, si PNS Indonesia bilang, "confidential".


Teten melanjutkan anekdot kedua, tentang insinyur teknik Indonesia yang studi di Jerman. Setelah kuliah, ia pulang ke Indonesia. Setahun kemudian, ia mengunjungi Jerman dan dijemput oleh kawan Jermannya untuk menginap di rumahnya. Kawan Indonesia ini terkagum-kagum melihat arsitektur mewah rumah kawannya. "Dari mana kamu dapat uang untuk bikin rumah sebagus ini?" tanya kawan Indonesia. Si Jerman menjelaskan, "Anda lihat banyak jalan mulus dan jembatan megah terbangun di sepanjang jalan? Sedikit dari anggarannya saya ambil untuk bikin rumah ini."


Setahun kemudian, giliran si Jerman yang ke Indonesia. Ia dijemput oleh kawan lamanya. Begitu tiba di rumah, si Jerman ini terpukau melihat keindahan arsitektur rumah sahabatnya. "Dari mana kamu dapat uang untuk bikin rumah semewah ini?" tanya si Jerman.


Dengan tenang, si Indonesia menjawab, "Anda lihat ada jalan dan jembatan di sepanjang jalan?" Si Jerman menjawab, "Ada jalan dan jembatan, tapi sebagian besar rusak dan tidak layak." "Anda tahu?" kata si Indonesia. "Sebagian besar dana untuk jalan dan jembatan itu saya ambil untuk bangun rumah saya ini."


Dua anekdot yang diceritakan Teten puluhan tahun silam itu, masih relevan hingga kini. Sekarang, Teten telah menjadi menteri. Apakah cerita ini ia terapkan sebagai ikhtiar mengelola manajemen kepemimpinannya? Wallahu a'lam. (Dr Nur Sang Adji Dosen mata kuliah Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi, serta Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Universitas Tadulako Palu).***

×
Berita Terbaru Update