- OLEH : Mohammad Syafei T. Tama (Oyot )
Terima kasih pa...
Tulisan ini adalah persembahan kepada Ayah kami, Taha Tama. Dia telah pulang kehadirat Allah, pada hari Sabtu, tanggal 1 November 2025, Pukul 01.00 Waktu Paleleh, di Usia 97 tahun. Saya membutuhkan waktu 8 hari untuk dapat menuliskan catatan ini, karena sedih yang sangat dalam. Saya membagi catatan ini kepada anda, berharap tercatat sebagai sedekah pengetahuan tentang hidup, insya Allah. Selain itu catatan ini, hendak menguak sejarah yang hampir punah dari ingatan dan lembaran buku....
Tulisan ini akan sangat panjang dan juga membosankan bagi sebagian orang, tetapi saya yakin bagi anda yang diberkahi Allah dengan akal sehat dan mentalitas yang baik akan menarik pelajaran dari alur cerita panjang ini. Nanti saya akan uraikan sepadat mungkin, sebuah cuplikan sejarah Buol yang hampir punah dari ingatan.
....
Suatu Pagi 2 tahun yang lalu, beliau kembali menyampaikan kisah lama yang selalu terasa baru, yang selalu mengetuk batin saya:
"43 tahun buta tidak gampang, kira-kira bagaimana kalau kamu (saya maksudnya) yang dapat ujian ini?" Beliau diam sejenak, lalu melanjutkan:
"Papa sudah puasa Senin-Kamis sejak umur 18 tahun. Bangun pukul 2 atau 3 subuh, mandi dan shalat Tahajud tiap hari sampai sekarang (saat itu 2023). Tapi kira-kira umur 50-an tahun (seumuran saya ketika itu), Allah kase buta. Hahaha... luar biasa ujian Allah."
"Sekitar satu bulan Papa bingung, apa maksud Allah. Papa gelisah... apa salah Papa? Padahal Papa sudah mengabdi untuk Buol."
Lalu beliau mengenang kembali jalan panjang yang pernah ditempuhnya:
"Tamat pendidikan di Makassar, Papa pulang ke Buol. Papa berjalan kaki dari Umu sampai ke Lakuan, sendirian. Mau lihat keadaan masyarakat. Kasiang... tidak ada SMP di Buol. Maka Papa bangun SMP di semua kecamatan. Supaya suatu saat, Buol bisa jadi Kabupaten sendiri. Supaya murid-murid Papa bisa memimpin dan membangun Buol. Tapi, kira-kira apa maksud Allah? Kenapa Papa yang dikase buta...?"
"Alhamdulillah... mungkin Papa dikase buta supaya tidak menambah dosa."
Waktu itu saya hanya bisa diam, menatap wajahnya yang penuh keriput buatan zaman demi zaman yang penuh ujian. Keriput itu tak sanggup menutupi pancaran cahaya ikhlas dan sabar yang benderang. Saya tidak bisa membayangkan, bila ujian hidup yang dijalani beliau itu ditimpakan kepada saya yang rapuh ini. Sungguh, engkau Ayahku, adalah manusia terpilih yang telah Allah muliakan, untuk menjadi Guru dan teladanku dalam menjalankan tugas di bumi.
Sejak tahun 1980, Allah mencabut nikmat penglihatan dari beliau. Tetapi justru dari situlah terlihat dengan lebih terang siapa beliau sesungguhnya: seorang yang tulus, sabar, dan ikhlas menapaki jalan hidup yang penuh ujian, namun tetap istiqomah dalam ibadah dan pengabdian. Dalam gelap, beliau bersinar.
Dunia dan hingar-bingarnya tak lagi berarti baginya. Tapi bagi yang masih lekat dengan gemerlap dunia, beliau adalah cermin yang memantulkan nilai sejati kehidupan. Setiap detik bersamanya adalah pelajaran tauhid, sabar, syukur, dan tawakal.
Taha Tama telah membangun Buol bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan langkah kaki dan tangan yang bekerja. Tidak meminta pujian, tapi sejarah yang mencatat, bahwa dari semangat dan cita-citanya, sekolah-sekolah berdiri. Dari sekolah-sekolah itu, lahirlah pemimpin-pemimpin daerah.
Sering berinteraksi dengan beliau, mendorong saya untuk menggali siapa Taha Tama lebih jauh hingga menelusuri jejak sejarah Buol dan Paleleh sebagai tanah lahirnya.
Berikut ini, dengan berbesar hati saya hendak membuka lembar sejarah itu kepada anda semua, khususnya seluruh orang Buol di manapun berada, agar kita tidak a historis.
PALELEH: Jejak Perlawanan dan Martabat dalam Darah Keluarga Tama
Di jantung Paleleh, tempat sejarah dan perlawanan bertemu, nama keluarga Tama berdiri sebagai saksi atas satu bab penting dalam dinamika kemadikaan Buol. Keluarga ini adalah pewaris darah perjuangan dan pengemban tanggung jawab moral untuk menjaga kedaulatan, martabat, dan keadilan sosial bagi rakyat Buol.
Asal Usul: Dari Pogi sang Jogugu ke Paleleh (Harus dicatat dan diingat, bahwa ketika itu Indonesia belum ada, Buol adalah Negara “Kemadikaan” yang berdaulat).
Taha Tama, lahir pada Minggu, 29 September 1929, adalah anak kelima dari Abdul Muthalib Tama (atau Lendo Tama), dan Rabayah Tonggi (Boya Salem). Lendo sendiri adalah anak dari Tama, yang pernah menjabat Marsaoleh pertama Distrik Paleleh. Tama adalah putra dari Pogi, seorang Jogugu pada masa pemerintahan Madika Turungku (1864–1890). Istri Pogi, bernama Mondoek adalah saudara kandung dari Turungku (Madika Buol 1864–1890).
Pogi adalah pejabat tinggi kerajaan dengan integritas tinggi. Dia adalah pribadi yang memilih meninggalkan jabatannya ketika nilai-nilai yang dijunjung tidak lagi sejalan dengan arah kekuasaan. Setelah berselisih dengan Radja Turungku akibat tekanan kolonial Belanda, terutama dalam soal Kontrak Politik yang membukus kepentingan Belanda untuk pengelolaan tambang emas di Paleleh, Pogi memilih mendirikan kekuatan baru: Balak Paleleh, sebuah wilayah otonom yang dia pimpin sebagai bentuk pembangkangan terhadap kooptasi kekuasaan.
Pendirian Balak Paleleh oleh Pogi, dan kemudian diwariskan kepada Tama, adalah manifestasi dari perlawanan terhadap penjajahan dan ketidakadilan. Paleleh ketika itu menjadi basis konsolidasi perjuangan dan benteng pertahanan nilai-nilai adat yang tak tunduk pada kekuasaan kolonial.
Konflik, Penindasan, dan Ketegangan Internal
Konteks sejarah saat itu adalah masa transisi yang getir. Setelah Raja Turungku menandatangani kontrak politik dengan Belanda, tekanan terhadap Buol semakin kuat. Pajak tinggi, kerja paksa, dan eksploitasi sumber daya menjadi pemandangan sehari-hari. Ketegangan antara para pejabat adat seperti Jogugu, Ukumo, dan Kapitalau dengan Radja Buol memuncak. Pogi termasuk di antara mereka yang memilih tidak tunduk.
Sementara itu, Ukumo dan Kapitalau keluar dari struktur kerajaan dan mendirikan struktur baru dengan mengangkat Mangkona sebagai Presiden Radja. Praktis saat itu, Buol berada di dalam kekuasaan penuh Belanda yang dalam pelaksanaan pemerintahan dilaksanakan oleh Madika Turungku dan struktur yang tersisa, yaitu Juru tulis kerajaan. Struktur yang lain dibentuk atas persetujuan Belanda tanpa mengindahkan Hukum Adat yang berlaku ketika itu.
Pasca pengunduran dirinya, Pogi menetap di Bano (kemudian menjadi Paleleh), dan menyusun kekuatan. Dalam sebuah fase sejarah penting, pada tahun 1875, Syarif Mansur Ali menghimpun kekuatan militer di Paleleh dan melakukan serangan ke Residen Manado. Ini adalah sinyal bahwa Paleleh bukan daerah kecil yang pasif, tapi pusat perlawanan yang terorganisir.
Abdul Muthalib (Lendo) Tama dan Politik Kolonial
Ketika Pogi menyerahkan kepemimpinan kepada Tama, keluarga ini tetap berada dalam posisi strategis namun penuh tekanan. Lendo bahkan sempat diangkat sebagai Marsaoleh Distrik Biau oleh Belanda. Ketika perusahaan tambang emas Belanda bangkrut tahun 1929, Pemerintah Hindia Belanda berniat mengganti Radja Buol dengan Lendo Tama sebagai pemimpin baru. Namun takdir berkata lain: setelah mengumumkan rencana ini di Lilito, Lendo jatuh sakit mendadak karena keracunan dan meninggal dunia. Peristiwa ini menyimpan banyak misteri dan didiamkan oleh sejarah resmi.
Taha Tama: Lahir di Tengah Amarah Zaman
Lahir 5 tahun sebelum ayahnya wafat, Taha Tama membawa semangat zaman yang penuh gejolak. Beliau tumbuh tanpa ayah dalam situasi politik yang tidak stabil, tetapi warisan nilai-nilai dari Pogi, Tama dan Abdul Muthalib, hidup dalam dirinya. Taha Tama menjadi saksi sekaligus penerus dari ketegangan antara adat dan kolonial, antara pengabdian dan kekuasaan.
Pertautan Dua Darah: Tama dan Mangkona
Taha Tama beristrikan Aisyah Mangkona, yang dikaruniai lima orang anak: Mohammad Yasin, Mohammad Syafei, Mohammad Rusli, Siti Fatimah, dan Mohammad Hatta. Dari garis ayah, mereka adalah keturunan langsung dari keluarga Tama di Paleleh, garis perlawanan yang bermula dari Jogugu Pogi, lalu Tama, hingga Abdul Muthalib Tama. Dari garis ibu, mereka mewarisi darah keluarga Mangkona, melalui Aisyah Mangkona, anak dari Ndubu bin Mangkona, cucu Presiden Radja dan keturunan langsung dari Ndubu II.
Sementara dari garis Mondoek istri Pogi adalah saudara kandung dari Raja Turungku. Akibat perselisihan internal kerajaan, Pogi dan Mondoek bercerai.
Cucu keturunan Pogi ini mewarisi darah dari dua garis kebangsawanan utama Buol, mempertemukan warisan nilai-nilai Paleleh dan Buol, perlawanan dan pemerintahan, spiritualitas dan tanggung jawab sosial.
Pertemuan Dua Darah Ndubu II: Persilangan Sejarah dan Nilai
Istri dari Taha Tama adalah Aisyah Mangkona, putri dari Ndubu, yang merupakan anak dari Mangkona (Presiden Radja). Mangkona adalah anak dari Dakoela, putra dari Tandaena bin Ndubu II. Sementara itu, ayah Taha, yakni Abdul Muthalib Tama (Lendo), menikah dengan Rabayah Tonggi, yang adalah cucu dari Sahi Alam bin Ndubu II. Dengan demikian, baik Taha Tama maupun istrinya, Aisyah Mangkona, adalah keturunan langsung dari Ndubu II—Raja Buol yang memerintah antara tahun 1818–1830, anak dari Raja Mokoapat (1810–1818).
Keturunan mereka mewarisi dua jalur darah bangsawan utama Buol, mempertemukan arus resistensi (Paleleh) dengan jalur kekuasaan formal (Presiden Radja Mangkona). Ini memberi legitimasi ganda kepada anak-anak mereka, baik secara spiritual, sosial, maupun historis.
Sejarah yang Tak Pernah Mati
Keluarga Tama adalah representasi dari pilihan berdaulat, bahkan ketika takdir mengharuskan mereka berjalan dalam bayang-bayang sejarah resmi. Dari Pogi hingga Taha Tama, nilai-nilai kemandirian, keberanian, dan keteguhan terhadap adat terus diwariskan. Kini, melalui tulisan ini, dihidupkan kembali, dan akan terus hidup. Mungkin dengan cara dan strategi yang berbeda.
Pada mereka mengalir darah titisan para leluhur Buol, Ombu Kilano, yang tidak tunduk kepada kolonialisme, kapitalisme-imperialsme. Kini di alam pemerintahan NKRI, ketika ketidakadilan di mana-mana sedang berlangsung, jeritan rakyat tertindas yang hak-hak asal usulnya dirampas, panggilan pengabdian lintas zaman itu kembali menguat... hendak menyeruak dari himpitan zaman yang penindas.
Semoga catatan ini menjadi batu penjuru bagi generasi yang ingin menegakkan keadilan di tanah Pogogul.... Saya siap terpimpin dan siap memimpin.


