Alasannews.com | Konawe Utara, Sulawesi Tenggara — Dugaan persoalan serius pada proyek pembangunan Hunian Tetap (Huntap) bagi korban bencana di Kabupaten Konawe Utara kini memasuki fase krusial dan menyedot perhatian publik nasional. Proyek yang seharusnya menjadi simbol kehadiran negara dalam pemulihan pascabencana justru disinyalir menyimpan problem kualitas, teknis, hingga potensi pelanggaran hukum.
Sorotan kian menguat setelah Kepala BPBD Konawe Utara, Ns. Muh. Aidin, S.Kep, MM, memberikan pernyataan singkat dan dinilai normatif kepada media. Alih-alih menjelaskan langkah korektif atau pertanggungjawaban teknis, Aidin memilih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dijadwalkan awal tahun depan.
> “Nanti ditunggu hasil audit BPK awal tahun depan,” ujarnya singkat.
Pernyataan tersebut memicu tanda tanya besar. Pasalnya, audit BPK pada prinsipnya memeriksa aspek pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, bukan sebagai tameng untuk mengabaikan persoalan kerusakan fisik bangunan yang diduga muncul bahkan sebelum hunian difungsikan secara optimal.
Bangunan Baru, Kerusakan Dini, dan Pertanyaan tentang Kualitas
Hasil penelusuran awal dan temuan lapangan yang disampaikan sejumlah pihak menunjukkan adanya indikasi retak bangunan, penurunan tanah, serta dugaan kekurangan volume pekerjaan pada sejumlah unit Huntap. Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran serius terkait keselamatan penghuni dan keberlanjutan fungsi bangunan.
BPBD berdalih bahwa pergeseran tanah disebabkan faktor alam dan cuaca ekstrem. Namun, para ahli konstruksi menilai bahwa risiko geoteknik semestinya sudah diantisipasi sejak tahap perencanaan, terlebih proyek Huntap dibangun di wilayah rawan bencana.
“Kalau alasan alam selalu dijadikan pembenaran, lalu di mana fungsi kajian teknis, perencanaan struktur, dan pengawasan pekerjaan?” ujar salah satu pengamat kebencanaan yang enggan disebutkan namanya.
PHO Bukan Akhir Tanggung Jawab Negara
Penetapan proyek pada tahap PHO (Provisional Hand Over) juga menuai kritik. Dalam praktik pengadaan, PHO bukanlah garis akhir tanggung jawab, melainkan fase awal pengujian mutu bangunan sebelum masuk masa pemeliharaan.
“PHO tidak otomatis menutup ruang koreksi. Justru di situlah tanggung jawab penyedia jasa dan pengguna anggaran diuji. Jika ada kerusakan dini, negara wajib hadir, bukan bersembunyi di balik prosedur,” tegas Ramadan, pemerhati kebijakan publik yang ikut mengawal kasus ini.
Ia menilai sikap BPBD yang pasif berpotensi menimbulkan kerugian negara berlapis — dari pemborosan anggaran, biaya perbaikan ulang, hingga risiko sosial apabila bangunan tak layak huni.
Indikasi Kelalaian hingga Potensi Pidana
Dugaan persoalan ini membuka ruang pemeriksaan lebih luas, mulai dari:
kelayakan perencanaan teknis,
proses lelang dan penetapan rekanan,
pengawasan pekerjaan di lapangan,
hingga dugaan kelalaian atau penyimpangan yang berpotensi melanggar hukum.
Jika terbukti terdapat kekurangan volume, pekerjaan tidak sesuai spesifikasi, atau pembiaran atas kerusakan dini, maka bukan hanya kontraktor yang harus bertanggung jawab, tetapi juga pengguna anggaran dan pejabat teknis terkait.
Dalam konteks ini, DPP LIDIK KRIMSUS RI Sulawesi Tenggara menyatakan tengah mengkaji laporan dan mengumpulkan bahan keterangan untuk dilaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH).
“Ini bukan lagi soal administrasi. Ini menyangkut dugaan pembiaran, potensi kerugian negara, dan hak korban bencana atas hunian yang layak dan aman,” tegas pernyataan LIDIK KRIMSUS.
Korban Bencana Terancam Jadi Korban Berlapis
Yang paling mengkhawatirkan, polemik ini terjadi di atas penderitaan korban bencana. Huntap yang seharusnya menjadi tempat memulai kembali kehidupan justru berpotensi menambah trauma baru jika dibangun tanpa kualitas dan pengawasan memadai.
Jika negara gagal memastikan mutu hunian pascabencana, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar reputasi pemerintah daerah, melainkan kepercayaan publik terhadap komitmen negara melindungi warganya.
Publik Menanti Keberanian Pemerintah Daerah
Kini, sorotan publik tertuju pada langkah Pemerintah Kabupaten Konawe Utara dan BPBD setempat. Apakah akan tetap bertahan pada narasi “menunggu audit”, atau berani membuka data, melakukan evaluasi menyeluruh, serta mengambil tindakan korektif yang nyata?
Kasus Huntap Konawe Utara menjadi ujian serius: apakah proyek penanggulangan bencana benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar deretan angka dalam laporan pertanggungjawaban.
LIDIK KRIMSUS menegaskan, jika tidak ada langkah transparan dan bertanggung jawab, jalur hukum akan ditempuh demi memastikan anggaran negara tidak berubah menjadi bangunan rapuh yang membahayakan masa depan korban bencana.
Tim : Investigasi
Red/GN*


