Alasannews.com|PONTIANAK — 30/6/2025 - Di tengah gencarnya reformasi birokrasi dan transformasi layanan publik berbasis digital, aroma busuk praktik percaloan justru kian menyengat dari balik dinding Kantor Imigrasi Kelas I TPI Pontianak, Jalan Letjen Sutoyo. Laporan investigatif mengungkap dugaan praktik diskriminatif, penyalahgunaan kewenangan, dan sabotase sistem antrean yang berujung pada pelacuran keadilan administrasi oleh segelintir oknum dan jaringan calo terorganisir.
“Kami datang dengan niat baik, ikut prosedur, antre online, lengkap semua dokumen. Tapi tetap dipersulit. Karena kami tak berpenampilan meyakinkan? Sementara calo tinggal kasih data, dua hari paspor jadi,” keluh seorang warga asal Kubu Raya yang enggan disebut namanya.
Empat warga dari berbagai daerah di Kalimantan Barat — mulai dari Kubu Raya hingga kawasan pedalaman — mengalami pola perlakuan serupa saat mengajukan permohonan paspor melalui jalur resmi. Meski telah mendaftar melalui aplikasi M-Paspor, melengkapi dokumen, dan datang sesuai jadwal, mereka justru menghadapi hambatan yang terkesan direkayasa:
Antrean yang “hilang” tiba-tiba dari sistem
Diberi alasan teknis seperti server error
Diminta berkas tambahan yang tak tercantum dalam syarat resmi
Dibisiki secara halus untuk “menghubungi orang dalam” agar cepat selesai
“Kami datang jam tujuh pagi, tapi dibilang sistem eror. Besok datang lagi, katanya antrean penuh. Tapi anehnya, calo yang datang telat bisa langsung masuk, foto, dan tinggal tunggu paspor diantar,” ujar salah satu pelapor.
Laporan ini menemukan fakta mengejutkan: jalur resmi dibuat lamban dan berliku, sementara jalur calo berlangsung cepat, senyap, dan efisien. Para calo dengan mudah menawarkan “paket ekspres” dengan harga antara Rp1,2 juta hingga Rp1,5 juta per orang — jauh di atas tarif resmi negara yang hanya Rp350 ribu untuk paspor biasa dan Rp650 ribu untuk paspor elektronik.
Tak hanya itu, pemohon yang menggunakan jasa calo:
Tidak perlu antre online
Tidak menjalani wawancara sebagaimana mestinya
Cukup menyerahkan data pribadi via WhatsApp
“Rp1 juta katanya untuk bagian dalam. Calo cuma makelar. Mereka tidak perlu antar orang, cukup setor nama dan data. Yang kerja petugas dalamnya,” ujar narasumber internal.
Data dan kesaksian menunjukkan adanya praktik manipulatif oleh oknum petugas dengan modus sebagai berikut:
Penutupan sistem antrean lebih awal, padahal kuota belum penuh
Pengalihan kuota resmi kepada jalur calo, lewat akun internal
Penyusupan antrean jalur “VIP” bagi pemohon yang memakai jasa calo
Praktik ini diduga berlangsung dengan pola terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), melibatkan lebih dari satu petugas teknis yang bertugas mengatur antrean digital dan verifikasi dokumen.
Laporan juga mengungkap pola diskriminasi berdasarkan tampilan fisik dan simbol status sosial. Pemohon dengan penampilan sederhana kerap diperlakukan sinis dan diremehkan, berbeda dengan mereka yang datang bergaya “kelas atas”
“Kalau kami pakai sandal jepit, bawa map kertas, logat kampung, langsung dicurigai. Tapi yang datang pakai Alphard atau baju bagus, langsung dilayani cepat,” kata pelapor lain dari daerah Hulu Sungai.
Praktik ini tak hanya mencoreng integritas pelayanan publik, tetapi juga menelanjangi kegagalan sistem kontrol internal dan pengawasan eksternal. Fungsi negara sebagai pelayan keadilan administrasi kalah telak oleh mafia calo yang bergerak leluasa di tengah kelemahan manajemen institusi.
Pakar administrasi publik menyebut kondisi ini sebagai “fenomena disfungsi birokrasi akibat kultur patronase”, di mana loyalitas aparat lebih condong pada jaringan informal daripada kepatuhan pada sistem hukum.
Sumber : Tim Liputan
Red/Tim*


