ALASANnews.com, — Setelah bertahun-tahun memperjuangkan hak atas pengelolaan tambang rakyat, masyarakat Poboya akhirnya melihat titik terang. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah resmi mengeluarkan surat rekomendasi Gubernur tentang penciutan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Citra Palu Mineral di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Langkah ini membuka peluang pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang selama ini menjadi aspirasi warga setempat.
Surat rekomendasi yang ditandatangani Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, diserahkan langsung ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), di Jakarta pada Rabu (29/10). Penyerahan dilakukan oleh perwakilan masyarakat dan kelembagaan adat Poboya sebagai simbol perjuangan kolektif warga yang menggantungkan hidup pada sektor tambang tradisional.
Dalam rombongan tersebut hadir Ketua Kelompok Kerja (Pokja) WPR Sofyar, Sekretaris Muhammad Arfan, serta perwakilan Lembaga Adat Poboya Herman Pandejori. Mereka membawa serta dokumen rekomendasi gubernur sebagai bentuk konkret dukungan pemerintah daerah terhadap perjuangan rakyat kecil yang selama ini hanya menjadi penonton di tanah kelahiran mereka sendiri.
“Rekomendasi ini adalah hasil dari dialog panjang antara masyarakat, pemerintah daerah, dan lembaga adat,” ujar Sofyar usai penyerahan dokumen di Jakarta. “Kami berharap Dirjen Minerba dapat menindaklanjuti dengan segera agar masyarakat Poboya memperoleh ruang legal dalam mengelola sumber daya alam yang ada.”
Langkah Gubernur Anwar Hafid ini dipandang sebagai bentuk keberpihakan terhadap masyarakat lokal. Selama bertahun-tahun, aktivitas pertambangan di Poboya menjadi sumber kontroversi karena keterlibatan perusahaan besar seringkali mengesampingkan hak-hak masyarakat penambang tradisional. Dengan adanya rekomendasi penciutan WIUP, pemerintah daerah ingin memastikan sebagian wilayah tersebut dapat dicadangkan untuk WPR yang legal dan berkelanjutan.
Bagi masyarakat Poboya, perjuangan ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga soal harga diri. “Kami bukan ingin menolak investasi, kami hanya ingin diakui dan diberi ruang untuk mengelola sumber daya kami sendiri,” kata Herman Pandejori, tokoh adat Poboya, yang turut hadir dalam rombongan.
Penyerahan dokumen di Jakarta disambut hangat oleh pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Minerba. Menurut sumber internal, kementerian tengah meninjau berbagai rekomendasi daerah untuk menyeimbangkan kepentingan industri tambang nasional dengan pemberdayaan masyarakat penambang kecil.
Langkah ini juga mencerminkan semangat desentralisasi pengelolaan sumber daya alam yang kini mulai ditekankan oleh pemerintah pusat. Sulawesi Tengah, sebagai salah satu daerah dengan cadangan mineral terbesar di Indonesia, menjadi arena penting dalam eksperimen kebijakan pertambangan yang lebih inklusif.
Dengan momentum ini, masyarakat Poboya menaruh harapan besar agar rekomendasi gubernur tidak hanya menjadi dokumen administratif, tetapi menjadi langkah awal perubahan nyata. Mereka menunggu pemerintah pusat menindaklanjuti rekomendasi itu dengan penetapan WPR yang sah secara hukum, agar aktivitas tambang rakyat tak lagi dianggap ilegal.
Sementara itu, tim media mitra Gubernur Sulawesi Tengah menyebut langkah ini sebagai wujud nyata dari slogan “Berani untuk Rakyat” yang diusung Anwar Hafid. Jika benar terealisasi, WPR Poboya bukan hanya akan menjadi simbol keadilan sosial di sektor tambang, tetapi juga preseden penting bagi daerah lain di Indonesia yang berjuang agar rakyatnya turut memiliki masa depan dari bumi yang mereka pijak. ***


