Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kasus Oli Diduga Tidak Sesuai SNI di Pontianak: Pengusaha Pelumas Klarifikasi dan Hormati Proses Hukum!

| 21:03 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-29T14:03:24Z
Alasannews.com | Pontianak – Kalimantan Barat | 28 Oktober 2025|Di Kota Pontianak, di pinggir Sungai Kapuas yang tenang, arus informasi ternyata jauh lebih deras dari air sungainya. Nama Edy Cau (EC), seorang pengusaha pelumas di Kota Pontianak, tiba-tiba menjadi sorotan publik setelah muncul tudingan bahwa dirinya terlibat dalam peredaran oli yang disebut sebagai “oli palsu”.

Namun, seperti banyak kasus yang berkembang di ruang publik, apa yang mencuat di permukaan tidak selalu merepresentasikan keseluruhan fakta.

Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Mauluddin, SH., MH, Edy menyatakan keberatan keras atas labelisasi tersebut.

“Tidak ada yang namanya oli palsu. Yang ada adalah oli yang tidak sesuai spesifikasi SNI,”
ujar Muhammad Mauluddin kepada awak media dalam konferensi pers di Pontianak, Selasa (28/10/2025).

Menurutnya, penggunaan kata “palsu” sangat merugikan dan cenderung membentuk stigma negatif di masyarakat, sementara substansi perkara lebih mengarah pada aspek administratif dan teknis, bukan tindak pidana pemalsuan.

Dalam keterangan lanjutan, Muhammad Mauluddin menyampaikan bahwa realitas industri pelumas nasional masih penuh ketimpangan. Ia mengutip fakta bahwa dari 45 merek pelumas yang pernah diuji pemerintah secara nasional, hanya 8 merek yang dinyatakan memenuhi standar SNI, sementara 37 merek lainnya tidak lolos.

Kondisi tersebut, menurutnya, turut menjebak banyak pelaku usaha kecil dalam rantai distribusi yang panjang dan kompleks.

“EC bukan produsen, tidak pernah memalsukan produk. Klien kami hanya menerima barang dari distributor pusat di Jakarta dan Surabaya untuk dipasarkan di Pontianak,”
jelasnya.

Dengan demikian, apabila ada produk yang tidak memenuhi SNI, tanggung jawab terbesar berada pada produsen dan importir, bukan pada perantara atau penjual.

Meski diterpa pemberitaan di media sosial dan tekanan opini publik, Edy dikatakan bersikap kooperatif sejak awal proses penyidikan.

“Kami sangat menghargai kinerja penyidik dan rekan media yang menyampaikan informasi akurat. Klien kami menghormati proses hukum,”
ungkap Muhammad.

Namun ia tidak menampik bahwa kliennya kini mengalami tekanan psikologis akibat pemberitaan yang tidak utuh.

Nama baiknya tercoreng, aktivitas bisnisnya terhenti, dan kesehatannya dikabarkan menurun.

Dalam penggerebekan pada 20 Juni 2025, penyidik mengamankan sejumlah barang dari gudang penyimpanan pelumas. Kuasa hukum menegaskan bahwa barang tersebut bukan milik Edy, melainkan titipan distributor untuk dipasarkan.

Saat ini, berkas perkara tahap pertama telah dilimpahkan ke Kejaksaan, namun dikembalikan untuk dilengkapi administrasi.

“Proses pemberkasan masih berjalan. Saat ini baru satu tersangka yaitu EC, sementara tiga pihak lain masih dalam tahap pengembangan,”
terang Muhammad Mauluddin.

Ia meminta agar publik tidak memberikan vonis sebelum perkara diuji di pengadilan.

Fenomena pemberitaan ini menjadi gambaran tentang betapa cepat opini publik terbentuk hanya dari potongan informasi.

Edy kini menghadapi bukan hanya proses hukum, tetapi juga beban sosial berupa stigma yang menempel di ruang publik — dari kafe, grup WhatsApp, hingga linimasa media sosial.

Padahal, jurnalisme sejati adalah menggali kedua sisi fakta, bukan sekadar mempercepat klik dan tayangan.

Jika nanti pengadilan memutuskan bahwa Edy tidak bersalah, publik mungkin sudah beralih ke topik lain. Namun bagi Edy, pemulihan nama baik tidak sesederhana itu.

Kasus ini menjadi cermin bahwa:
antara ketidakpatuhan teknis dan kriminalisasi ada garis yang sangat tipis,
pelaku usaha kecil sering menjadi pihak paling rentan dalam sistem distribusi besar,
dan opini publik terkadang lebih cepat dari kebenaran.

Edy hanya berharap satu hal:
"Beri ruang bagi proses hukum bekerja sebelum memberikan penilaian."

Segala tudingan bahwa EC melakukan pemalsuan belum diputus oleh pengadilan dan masih dalam proses penyidikan. Prinsip presumption of innocence (asas praduga tak bersalah) tetap berlaku.


Sumber : Tim Kuasa Hukum 
Red/Tim*
×
Berita Terbaru Update