Oleh Hasanuddin Atjo
Sejumlah Gubernur protes keMenteri Keuangan Purbaya, pada Selasa ( 7/10/2025)). Agendanya terkait dengan pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) tahun 2026, berupa (DBH-:dana bagi hasil, DAU-dana alokasi umum dan DAK-dana alokasi khusus)
Para Gubernur berharap agar kebijakan pemangkasan itu ditinjau kembali, dikarenakan tahun 2025 sejumlah daerah, terutama pada wilayah Timur sudah ngos-ngosan. Bahkan ada daerah hanya mampu membayar gaji dan belanja birokrasi lainnya tanpa dana pembangunan.
Tahun 2026, TKD dipangkas Rp 269 triliun menjadi Rp 693 triliun, turun sebesar (29,2 %) dari sebelumnya (2025) sebesar Rp 919,87 triliun.
Kondisi dan situasi Ini makin menyulitkan daerah, karena memiki indeks kemandirian fiskal (kontribusi PAD) yang rendah. Terdapat sejumlah daerah, terutama kabupaten dan kota memiliki indeks kemandirian fiskal pada kisaran angka 1 - 2 %.
Protes yang dihadiri oleh 18 Gubernur, dinilai sejumlah kalangan masih realistis dan perlu dibahas mencari solusi.
Kewajiban membayar utang yang akan jatuh tempo tahun 2026 sebesar Rp 1.300 triliun, dari utang sebesar Rp 8.444, 87 triliun per akhir Juni 2024, menjadi satu diantara alasan mendasar.
Mentri Purbaya menjanjikan, dana TKD akan ditinjau lagi apabila ekonomi negeri ini membaik kembali. Jawaban ini terkesan bersifat normatif.
Karena itu Pemerintah Pusat maupun Daerah diharapkan kebih menekankan upaya meningkatkan kreatifitas dan kualitas belanja, yang selama ini menjadi satu diantara persoalan yang mendasar.
Kebijakan pemangkasan dana TKD tersebut diprediksi akan berlangsung beberapa tahun kedepan. Kondisi ini dinilai bisa menjadi triger, memberi
sejumlah manfaat positif untuk meningkatkan fiskal pusat dan daerah diantaranya
Pertama, pusat dan daerah dipaksa meningkatkan PAD, PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dan devisa dari sejumlah komoditi ekspor.
Peningkatan tersebut tentu tidak membebani rakyat kecil dan usaha UMKM yang kini mulai disasar oleh sejumlah kebijakan daerah.
Proses perizinan sebaiknya meninggalkan kebiasaan "kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah". Budaya seperti ini mesti dipangkas karena masih menjadi salah satu hambatan berinvestasi yang masih sering dikeluhkan.
Investasi terhadap komoditi, terutama pangan (Perikanan, Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan dan Peternakan serta komoditi pangan lain) mesti didorong. Perlu diberi insentif bagi investasi pada wilayah Timur yang miskin infrastruktur dan kesiapan SDM yang bisa beradaptasi terhadap industri pangan modern; yang pada saat ini menjadi tuntutan global.
Daerah harus mendorong lahirnya BUMD (Perumda maupun Perseroda) yang bisa menjadi salah satu sumber PAD. Kebijakan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih menjadi salah satu harapan meningkatkan ekonomi desa.
Karenanya proses dan pola rekruitmen maupun konsep operasional kedua lembaga profil tersebut menjadi satu diantara kunci sukses yang selama ini menjadi masalah.
Kedua, daya mahnit yang ditimbulkan untuk menjadi
pimpinan daerah semakin berkurang, karena melihat tingkat kesulitan kepala daerah yang ternyata begitu besar.
Selanjutnya kepala daerah yang akan ikut berkontesrasi diprediksi akan berkurang. Dan terpilihlah figur memiliki kompetensi, kepedulian dan kreatifitas serta profesional, mendorong kemajuan daerah.
Figur-figur yang lahir dengan cara seperti ini akan memiliki kreatifitas, dan kedepankan rekruitmen perangkat daerah
yang kreatif, kompeten dan profesional, tanpa dipaksa terlibat pada politik transaksi dan balas jasa. Dampaknya para ASN semangat perbaiki kompetensi dan kinerjanya.
Rekruitnen dengan standar seperti itu diyakini mampu melahirkan program kreatif serta belanja berkualitas dan msmpi meningkatan PAD, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Terakhir bahwa perubahan ini mesti dilaksanakan secara holistik dan titalitas, baik oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Karena itu menjadi harapan bahwa perubahan itu akan terlihat pascapesta demokrasi tahun 2029. Hal ini didorong sejumlah protes dan tuntutan warga-masyarakat yang baru baru ini terjadi secara masif.***


