- Bupati Amran H Yahya
ALASANnews.com--Musda IV Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Kabupaten Tolitoli berlangsung di Hotel Mitra dengan suasana yang terasa seperti pertemuan kembali sebuah keluarga besar setelah masa panjang yang penuh hening. Para tokoh masyarakat, para sesepuh, para pemuda, hingga Bupati Tolitoli Amran H. Yahya hadir menyaksikan babak baru organisasi yang pernah menjadi tempat pulang bagi para perantau Bugis-Makassar di daerah itu.
Selama beberapa tahun terakhir, KKSS Tolitoli nyaris tak terdengar. Setelah kepemimpinan Nurdin HK meredup, organisasi ini masuk dalam fase yang oleh banyak anggota disebut sebagai “masa kepakuman”, sebuah jeda panjang yang membuat aktivitasnya menipis dan ikatan anggotanya mengendur. Banyak yang menyebutnya hampir mati suri.
Namun Musda IV hari ini menandai sesuatu yang berbeda. Di ruangan berpendingin yang ramai oleh salam-sapa dan cerita lama, muncul empat nama yang bertekad menghidupkan kembali organisasi itu. Mereka adalah Suleman Padjalani, Andi Ahmad Syarif, dr. Kadir, dan Andi Yusuf Mappiase. Keempatnya membawa narasi yang sama: mengembalikan KKSS ke “kita awalnya”, ke rumah tempat para perantau dulu saling menjaga agar tidak hilang arah di tanah baru.
Di antara mereka, hadir pula Adi Program yang menawarkan pandangan alternatif tentang apa makna organisasi perantau di era kini. Pertarungan gagasan ini tidak keras, tetapi terasa dalam tatapan penuh perhitungan dari para pemilik suara sah: para pilar, pengurus kecamatan, dan dewan yang baru saja dibaharui. Di Musda seperti ini, politik keluarga bisa selembut bisikan, tetapi juga setegas angka-angka pemilihan.
Di sela-sela sidang pleno, para peserta bercerita tentang masa ketika KKSS menjadi jangkar sosial, mulai dari menolong anggota yang kesulitan biaya hingga menjadi jembatan bagi pendatang baru. Banyak yang berharap masa itu kembali, walau dunia sudah jauh bergerak sejak organisasi ini pertama kali lahir.
Bupati Amran Yahya, yang hadir mengenakan setelan sederhana dan berbicara dalam bahasa Bugis, menambahkan lapisan emosional pada pertemuan itu. Ia meminta agar KKSS menjadi “berkah” bagi Tolitoli. Kata “barokah” diucapkannya perlahan, seakan menyerahkan harapan itu kepada seluruh peserta, bukan hanya kepada calon-calon ketua di depan ruangan.
Bupati juga menekankan bahwa sebuah organisasi perantau tidak boleh sekadar hidup untuk dirinya sendiri. Ia mengingatkan bahwa Tolitoli kini adalah rumah bagi banyak identitas, dan KKSS dapat menjadi aset sosial yang memperkuat jalinan antar-etnis di wilayah pesisir yang terus tumbuh ini. Para peserta mengangguk, sebagian mencatat, sebagian lainnya hanya mematung dalam renungan.
Di luar ruang sidang, lorong hotel menjadi tempat perdebatan kecil-kecilan. Di sana, para senior berbicara tentang masa lalu, sementara kaum muda berbicara tentang masa depan yang lebih digital, lebih terbuka, dan lebih adaptif. Diskusi itu menggambarkan tarik ulur masa tua dan masa muda yang sering mengisi dinamika organisasi berbasis kekerabatan.
Musda IV bukan sekadar soal siapa yang akan memegang palu sidang untuk empat tahun ke depan. Ini tentang upaya membangunkan kembali sebuah rumah yang lama tertutup debu. Para kandidat menawarkan visi, pemilik suara mempertimbangkan masa depan, sementara publik menunggu apakah babak kali ini benar-benar akan melahirkan energi baru.
Apa pun hasilnya, Musda di Hotel Mitra ini menunjukkan bahwa organisasi yang pernah seperti bayangan samar kini kembali memantulkan cahaya. Dan bagi para perantau Bugis-Makassar di Tolitoli, cahaya itu bisa menjadi tanda jalan pulang yang sudah lama mereka rindukan.***


