- Penambangan nikel di areal hutan di sisi jalan trans Sulawesi, antara Desa Bete Bete dan Desa Tangofa di Morowali, Sulawesi Tengah. (Ist)
Oleh: Elkana Lengkong/ Wartawan
Keberhasilan Cina menjadi negara maju dengan Filosofi "Kucing Menangkap tikus" membawa negara Tirai Bambu itu berhasil segi ekonomi, pertumbuhan, dan peningkatan taraf hidup rakyat. Berbeda ,dinegeri kita ini justru sebaliknya miris dan memprihatinkan. Dinegeri ini justru ibarat Tikusnya yang Mati di lumbung Padi
Morowali sebuah negeri daerah otonom penghasil Sumber Daya Alam (SDA) nikel terbesar dunia. Namun sayangnya rakyatnya ada sekitar sesuai data BPS rakyatnya ada sekitar Yakni keberadaan angka kemiskinan sebesar 10,38 persen berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025. Dimana angka kemiskinan mencapai 19.768 ribu jiwa dari jumlah penduduk Morowali sebanyak 190.450 jiwa tercatat miskin. Ini ibarat kata pepatah "Tikus Mati Dilumbung Pangan".Sebenarnya negeri yang kaya dengan miliki potensi sumber daya alam harusnya dapat memberi kemakmuran dan kesejateraan bagi warganya
Rekomendasi Kebijakan: Menuju Ekonomi Kerakyatan yang Adil
Untuk membalikkan reformasi ini, tuntut reformasi mendesak: Royalti SDA 20% langsung ke masyarakat lokal, prioritaskan infrastruktur dan pendidikan; Revisi UU Minerba untuk hilirisasi inklusif, bukan ekspor mentah; Transparansi pemilik perusahaan tambang via pengungkapan UBO (Ultimate Beneficial Owner). Libatkan ICC untuk investigasi state capture.
Tanpa aksi ini, tahun 2030 generasi muda negeri ini akan bertanya: “Mengapa Sumber Daya Alam (SDA) kita yang kaya ini justru untungkan asing, tap negerii kita miskin?” jawabannya: Karena negara ini milik korporasi. Bangun sekarang, atau tenggelam selamanya dalam lumpur nikel dan utang global.
Negeri ini bisa disebut negeri petro dolar, apakah regulasi tata kelola negara yang ada justru tidak berpihak pada rakyat?Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3): Ini adalah landasan utama, yang mewajibkan negara menguasai dan mengelola sumber daya alam (termasuk tanah dan air) demi kepentingan rakyat banyak.
Guru Besar Bidang Ekonomi Internasional Fakultas Economi Bisnis (FEB) Universitas Tadulako (Untad) Palu Prof Moh.Ahlis Djirimu Ph.D menyebut negeri ini di 3 provinsi penghasil nikel yaitu Sulteng khususnya Morowali, Morowali Utara, Sultra khususnya Konawe Raya mencakup Konawe Utara, Konawe, Konawe Selatan di Morosi, Maluku Utara khusus di Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan berlaku tiga kutukan yaitu Kutukan SDA, Kutukan Lingkungan dan Kutukan Ketenagakerjaan.
Secara Bruto, Sulteng menyumbang Rp 570,- triliun dari tambang atau 16% pada APBN, tetapi per 31 Oktober 2025, dana transfer yang kembali ke Sulteng sesuai data Kemenkeu tunjukkan, Pagu pendapatan APBD prov sj 25,7 Triliun dan realisasinya br 16 triliun. Maluku Utara menyumbang Rp 600,- triliun pada APBN tetapi, dana transfer ke Maluku Utara hanya Rp 12,- triliun.
Ahlis Djirumu melihat ini sebagai bentuk kutukan tenaga kerja terjadi karena 82% TK di Morowali adalah pekerja migran, hanya 18% berasal pekerja lokal Morowali. Pada sisi kompetensi, kalah jauh bersaing karena yang diterima adalah 20,97% lulusan tehnik pertambangan, 12,56% teknik geologi, 7,03% teknik sipil, masing-masing 6,44% teknik kimia dan 6,37% teknik lingkungan.
'Paling sedikit diterima adalah teknik metalurgi 2,66% dan teknik elektro karena ciri khas rotary klein electric furnace (RKEF) 82% berbasis Phyrometalurgi. Jadi, tenaga kerja lokal termarginalisasi menjadi penganggur di kampung halaman" ujar ahlis Djirimu
Menurut Ahlis Djirimu setelah nikel habis, maka benar adanya daerah tambang dapat menjadi Kota Hantu, jauh dari best practice Ruhr di Jerman, kota tambang menjadi kota wisata.
Selain itu, pengalaman saya di Afrika dan Eropa menunjukkan, siapapun investor asing, justru mereka hanya ramah pada lingkungan di negara asalnya..
'Bila saya asumsikan 10% saja anak-anak usia 10-14 tahun, setiap yang wafat karena kasus ISPA pencemaran, maka Morowali merugi moneter USD333.368,- dan bila saya asumsikan 40% pekerja lokal di Bahodopi, maka kerugian moneter akibat wafat di usia produktif mencapai USD1.279.674,- pada suku bunga 5% bila merujuk perhitungan teoretis & empiris Benefit-Cost Ratio versi Ezra J. Mihsan" kata Prof Moh Ahlis Djirimu dalam tanggapannya terkait pepatah Tikus Mati diLumbung Padi bagi daerahnyang ksya potensi SDA namun rakyatnya miskin.
Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), yang mantan Bupati Morowali dua periode H Anwar Hafid, dalam Forum DPRD Penghasil Nikel Indonesia berlangsung di Kantor DPRD Sulteng Minggu (7/12/25) turut dihadiri Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung. menyebut perlunya keadilan dalam pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) nikel.
Anwar Hafid menyampaikan bahwa daerah penghasil nikel terbesar didunia terus menanggung dampak sosial dan lingkungan yang besar, sementara manfaat ekonomi yang diterima masih jauh dari proporsional. Ia menyoroti bahwa pendapatan pajak smelter yang masuk ke pemerintah pusat setiap tahun mencapai Rp 200–300 triliun, namun Sulteng hanya menerima Rp 222 miliar. "Jika dipersenkan, dari pembagian Dana Bagi Hasil(DBH) , Sulteng hanya mendapat 0,074 persen dari Rp300 triliun pendapatan pajak smelter tiap tahun" ujar Anwar Hafid
Padahal, kata Anwar, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 menetapkan porsi 16 persen untuk daerah. “Kami tidak minta 16 persen. Kami hanya minta 1 persen saja dari Rp300 triliun itu. Kita bisa dapat Rp3 triliun per tahun,” katanya.
Walhi Sulteng: 53 Tambang Nikel Keroyok Morowali, Banjir pun Jadi
Melansir BETAHITA.ID Senin, 06 Januari 2025 Aktivitas pertambangan di pegunungan Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) dianggap sebagai biang terjadinya banjir lumpur yang sejak beberapa tahun belakangan rutin melanda wilayah sekitar kawasan industri nikel, terutama di Desa Labota.
Masyarakat sipil meminta pemerintah untuk melakukan moratorium dan evaluasi izin penambangan di pegunungan itu.
Berdasarkan analisis spasial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, terdapat 53 izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi yang beroperasi di Morowali. Total luas konsesi tambang nikel ini mencapai 118.139 hektar, yang terbesar di antaranya adalah milik PT Bintang Delapan Mineral seluas 20.765 hektar. Konsesi-konsesi tambang ini terletak di hampir sepanjang lanskap pegunungan Morowali.***


