Oleh: Dr Muhd Nur Sang Adji
Pada akhir Juni 2019, saya menghadiri Rakernas Gerakan Pramuka di Cibubur, Jakarta. Acara tersebut dihadiri langsung oleh Ketua Kwartir Nasional, Komjen (purn) Budi Warseso, yang juga menjabat sebagai Kepala Bulog. Sebagai mantan anggota Pramuka Saka Bhayangkara saat sekolah, saya berkesempatan mewakili Ketua Kwarda Sulawesi Tengah dan bertemu secara khusus dengan Budi Warseso serta para ketua kwarda dari seluruh Indonesia.
Pada momen inilah saya diberi kesempatan berbicara. Ada dua hal penting yang saya sampaikan: pertama, tentang perkembangan gerakan kepramukaan, dan kedua, tentang nasib tunas kelapa, lambang Pramuka yang kini terancam. Poin kedua inilah yang menjadi fokus tulisan ini.
Gerakan Pramuka menghadapi dua tantangan besar saat ini. Pertama, bagaimana membuat gerakan ini diminati oleh generasi milenial, di tengah seruan global “scout is a global movement” yang faktanya terasa semakin redup. Kedua, bagaimana menjadikan Pramuka relevan bagi masyarakat luas. Berkaitan dengan poin kedua, Pramuka seharusnya dapat berperan dalam mengatasi keterpurukan para petani kelapa di Indonesia. Bukankah tunas kelapa adalah lambang mereka? Jika bukan untuk petani, setidaknya Pramuka harus membela lambangnya sendiri.
Kelapa yang Tersisihkan Atas Nama Pembangunan
Setelah Rakernas, saya berkesempatan bersilaturahmi ke rumah adik di kawasan Pondok Kelapa, Jakarta. Saya bertanya mengapa kampung itu dinamakan Pondok Kelapa. Saya menduga, dulunya pasti banyak pohon kelapa di sana. Tapi, di mana semua pohon itu sekarang? Identitas kelapa tetap melekat pada nama kampungnya, namun pohonnya telah hilang.
Hal yang sama terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, di sebuah kampung bernama Bumi Nyiur. Ketika saya pertama kali tiba di sana pada tahun 1982, pohon nyiur masih berjejer rapi melambai-lambai. Selama 37 tahun terakhir, saya menyaksikan sendiri pohon-pohon nyiur itu disingkirkan atas nama pembangunan. Kini, jejaknya tak lagi terlihat, yang tersisa hanyalah "Swalayan Bumi Nyiur".
Apa yang akan terjadi jika pohon nyiur ini hilang dari seluruh pantai Indonesia? Kita tidak hanya kehilangan salah satu identitas pertanian nasional, tetapi juga ruang penghidupan bagi jutaan petani kelapa. Belum lagi, kita akan kehilangan ratusan manfaat turunan dari pemanfaatannya.
Sebagai contoh, kelapa muda dapat langsung dimakan daging dan airnya. Daging dan air kelapa muda juga bisa diolah menjadi gula, zat pengatur tumbuh tanaman, dan lain-lain. Buah kelapa tua, dari air, daging, tempurung, hingga sabutnya, semuanya dapat dimanfaatkan. Bahkan batang, daun, bunga, dan akar kelapa memiliki kegunaan ganda. Intinya, seluruh bagian tumbuhan kelapa sangat berguna.
Potensi Ekonomi yang Belum Optimal
Jika dikonversi ke nilai ekonomi, manfaat kelapa sangat tinggi. Masalahnya, kita masih terlalu bergantung pada pengolahan kopra untuk minyak kelapa biasa, yang harganya hanya sekitar 20-30 ribu rupiah per liter. Padahal, minyak murni (virgin coconut oil) memiliki harga ratusan ribu per liter. Asam laurat dari kelapa juga bisa mencapai harga tinggi, namun kita belum optimal dalam mengembangkannya.
Saya menulis artikel ini sambil mendampingi masyarakat Desa Tamarenza, Kabupaten Donggala, yang sedang praktik membuat briket dari arang tempurung. Ahli kami datangkan dari Yogyakarta. Kabarnya, harga produk ini pun sangat tinggi di pasaran.
Pada tahun 2015, saat berada di Kota Durham, Inggris, saya terkejut menemukan daging kelapa dalam kemasan 100 gram dijual seharga £1 atau sekitar 20 ribu rupiah. Artinya, satu butir kelapa dengan berat 800-1000 gram bisa berharga 200 ribu rupiah jika diolah dengan baik.
Indonesia Dibodohi Sejak Dulu
Saya teringat ucapan orang Thailand, "Anda bisa menemukan kelapa dan komoditas pertanian lainnya di Indonesia. Tapi, jika ingin melihat produk olahan dari kelapa, datanglah ke Thailand." Mereka mengimpor biji kelapa dari Indonesia, meminta yang masih bersabut agar aman dari kerusakan. Kita hanya menjual bijinya, sedangkan mereka mendapatkan biji dan sabutnya.
Saya juga teringat saat masih kecil, saya menyaksikan tanah dari Pulau Gebe diangkut dengan tongkang ke Jepang untuk mengambil tembaga. Namun, logam berat lain yang berdekatan valensi kimianya ikut terangkut secara gratis. Sejak dulu, bangsa ini seolah dibodoh-bodohi. Sayangnya, hingga kini kesadaran itu belum sepenuhnya hadir.
Kebanyakan kebun kelapa di Indonesia berstatus perkebunan rakyat, bukan milik juragan besar seperti perkebunan sawit. Meskipun luasnya kecil, jumlah pemiliknya sangat banyak, sehingga total luasan kelapa sangat besar. Perbedaannya terletak pada manfaat kolektif dan kedaulatan kepemilikan yang ada di sini.
Ancaman Kepunahan dan Hilangnya Lambang
Saat ini, komoditas yang serbaguna ini terancam punah. Terancam karena harganya tidak lagi menjanjikan bagi para petani, sehingga tidak ada lagi yang menanamnya kembali. Saya khawatir, jika kelak kelapa benar-benar tidak lagi bertunas, maka Gerakan Pramuka akan kehilangan lambangnya di alam. Dan Sulawesi Tengah, yang menggunakan tunas kelapa sebagai bagian dari lambang daerah, akan kehilangan salah satu identitas terpentingnya. Ini adalah panggilan untuk menyelamatkan tunas kelapa, sebelum semuanya terlambat.
Potensi Ekonomi yang Belum Optimal
Jika dikonversi ke nilai ekonomi, manfaat kelapa sangat tinggi. Masalahnya, kita masih terlalu bergantung pada pengolahan kopra untuk minyak kelapa biasa, yang harganya hanya sekitar 20-30 ribu rupiah per liter. Padahal, minyak murni (virgin coconut oil) memiliki harga ratusan ribu per liter. Asam laurat dari kelapa juga bisa mencapai harga tinggi, namun kita belum optimal dalam mengembangkannya.***


