Alasannews.com|Kalimantan Barat – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadikan swasembada pangan sebagai prioritas utama dalam program kerja lima tahun ke depan. Langkah ini dinilai krusial untuk memperkuat ketahanan pangan nasional di tengah ketidakstabilan ekonomi global. Bahkan, dalam jangka menengah, Indonesia diharapkan bisa menjadi lumbung pangan dunia.
Namun, berbagai langkah strategis yang akan diambil pemerintah untuk mencapai target tersebut harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah rencana pembukaan lahan pertanian baru melalui konversi kawasan hutan. Beredar kabar bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan membabat 20 juta hektare hutan dan melakukan pemutihan 3 juta hektare terhadap Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit. Jika benar, kebijakan ini dikhawatirkan akan menimbulkan dampak besar terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat adat.
Dr. Herman Hofi Law, Pengamat Kebijakan Publik, menilai kebijakan tersebut perlu dikaji ulang karena berpotensi merusak keseimbangan lingkungan.
"Hutan bukan sekadar kawasan hijau, tetapi juga memiliki nilai sosial dan budaya yang sangat tinggi bagi masyarakat adat. Jika kebijakan ini dijalankan tanpa kajian mendalam, kita bukan hanya kehilangan tutupan hutan, tetapi juga merusak kearifan lokal yang telah terjaga selama ratusan tahun," ujarnya.
Menurutnya, kondisi ekosistem hutan Indonesia saat ini sudah masuk dalam kategori kritis. Pembukaan lahan dalam skala besar berpotensi memperparah krisis lingkungan, mengancam keanekaragaman hayati, dan memicu bencana ekologis seperti banjir serta kebakaran hutan. Selain itu, masyarakat adat di Kalimantan, Papua, dan Sumatra yang menggantungkan hidupnya pada hutan akan kehilangan ruang hidup mereka.
Untuk mencapai swasembada pangan tanpa merusak ekosistem, pemerintah didorong untuk mengoptimalkan lahan pertanian yang sudah ada. Banyak lahan tidur milik pemerintah daerah yang saat ini tidak produktif. Jika dikelola dengan baik, lahan-lahan ini bisa menjadi solusi tanpa harus mengorbankan hutan.
Selain itu, pemberdayaan petani juga menjadi kunci utama. Selama ini, petani di Indonesia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam mengelola pertanian. Namun, mereka sering kali terhambat oleh kebijakan yang tidak berpihak, keterbatasan akses terhadap pupuk bersubsidi, serta minimnya dukungan terhadap pengembangan bibit unggul.
"Persoalan pupuk subsidi yang kerap dikeluhkan petani harus segera diselesaikan. Begitu juga dengan ketersediaan bibit unggul yang menjadi faktor utama dalam meningkatkan produktivitas pertanian," ujar Dr. Herman Hofi Law.
Selain itu, pemerintah diminta untuk lebih bijak dalam kebijakan impor beras. Selama ini, impor beras yang berlebihan sering kali membuat harga gabah petani anjlok, sehingga merugikan mereka. Jika produksi beras dalam negeri dapat dikelola dengan baik, kebijakan impor seharusnya bisa ditekan atau bahkan dihentikan.
Dalam upaya mendukung ketahanan pangan, muncul wacana melibatkan TNI dan Polri dalam pengelolaan sektor pertanian. Namun, hal ini dinilai tidak perlu karena tugas utama kedua institusi tersebut sudah cukup padat.
"Petani kita sudah sangat memahami dunia pertanian. Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang berpihak dan dukungan nyata dari pemerintah, bukan penugasan tambahan kepada TNI dan Polri," tegas Dr. Herman Hofi Law.
Jika mafia pupuk bisa diberantas, distribusi pupuk bersubsidi berjalan lancar, bibit unggul tersedia, dan impor beras dapat dihentikan, maka Indonesia diyakini dapat mencapai swasembada pangan tanpa harus merusak lingkungan. Dengan langkah yang tepat dan strategis, visi menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia bukanlah hal yang mustahil.
Sumber : Dr.Herman Hofi Law(LBH)
Editor/Gugun


