Alasannews.com|Pontianak - Di tengah tuntutan efisiensi dan transparansi anggaran publik, kabar dari Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, menyodorkan kenyataan yang kontras. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membongkar dugaan korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) setempat. Tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka—dua merupakan penyelenggara negara, dan satu dari pihak swasta.
Penetapan ini diumumkan setelah KPK melakukan penggeledahan maraton di 16 lokasi, mencakup wilayah Mempawah, Sanggau, dan Pontianak, antara 25 hingga 29 April 2025. Barang bukti yang disita meliputi dokumen-dokumen penting dan perangkat elektronik, yang diyakini berkaitan dengan proyek-proyek bermasalah di lingkungan PUPR.
Meski identitas para tersangka belum dibuka ke publik, pola kasus ini tak sulit ditebak. Ini bukan kali pertama pejabat daerah dan rekanan swasta berselingkuh dalam urusan pengadaan. Ketika proyek pemerintah dijalankan tidak dengan niat membangun, melainkan mencari keuntungan pribadi, maka seluruh fondasi pelayanan publik ikut retak.
Modusnya terlampau klasik, tetapi tetap efektif: manipulasi lelang, rekayasa pemenangan kontraktor, mark-up anggaran, hingga pengadaan fiktif. Jika dugaan itu terbukti, maka skandal ini lebih dari sekadar penyimpangan administrasi—ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat publik.
PUPR adalah jantung dari pembangunan infrastruktur daerah. Di tangan yang korup, anggaran miliaran rupiah bisa menjadi celah gelap yang sulit dilacak, tapi dampaknya langsung terasa oleh masyarakat. Jalan rusak, proyek mangkrak, drainase buruk, hingga bangunan roboh, semuanya bisa jadi jejak dari transaksi busuk yang terjadi di balik meja.
Sayangnya, kasus-kasus semacam ini jarang berujung pada perubahan sistemik. Penindakan dilakukan, tersangka ditahan, tapi sistem pengadaan dan pengawasan di daerah tetap longgar dan rawan disusupi. Hal inilah yang membuat korupsi seakan menjadi siklus, bukan insiden.
Skandal di Mempawah seharusnya menjadi cermin bagi banyak daerah lain. Jika pengawasan internal tidak diperkuat, jika mekanisme lelang tetap menjadi ruang gelap yang bisa dimanipulasi, maka tak ada jaminan bahwa kasus serupa tak akan muncul di tempat lain.
KPK harus mendorong penyidikan ini hingga ke akar-akarnya. Tidak cukup hanya memproses pelaku lapangan—harus ditelusuri siapa yang membiarkan, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana sistem ini terus berjalan. Hanya dengan cara itu, pemberantasan korupsi tak sekadar jadi peristiwa hukum, tapi juga momentum perubahan.
Masyarakat Mempawah dan Kalimantan Barat berhak tahu siapa yang merampas hak mereka atas pembangunan yang layak. Dan publik nasional harus tetap mengawasi, karena yang terjadi di Mempawah adalah gambaran kecil dari penyakit besar bernama korupsi daerah.
Tim : Redaksi


