Penulis; SULEMAN DJ.LATANTU
Buol ALASANEWS COM — Di ujung utara Pulau Sulawesi, tersimpan kisah panjang sebuah daerah yang pernah menjadi pusat kekuasaan kecil namun berpengaruh di pesisir Teluk Tomini.
Kabupaten Buol, dengan jejak sejarah yang membentang dari masa kerajaan hingga pemerintahan modern, kini tampil sebagai simbol transformasi sosial, budaya, dan politik di jantung Nusantara timur.
Dulu, jauh sebelum republik ini berdiri, tanah Buol diperintah oleh kerajaan tradisional yang dikenal sebagai Ndubu I.
Kerajaan ini menjadi cikal bakal peradaban di wilayah pesisir utara Sulawesi, tempat lahirnya tata kehidupan berbasis adat dan gotong royong yang hingga kini masih terasa dalam denyut kehidupan masyarakatnya. Kekuasaan kerajaan Buol berkembang pesat berkat posisinya yang strategis.
Diapit oleh laut luas dan perbukitan yang subur, daerah ini menjadi titik pertemuan antara pedagang dari Gorontalo, Ternate, hingga Filipina Selatan.
Arus perdagangan dan pertukaran budaya pun menjadikan Buol bukan sekadar wilayah, melainkan simpul penting dalam peta maritim Nusantara.
Namun, seperti banyak kerajaan lain di Nusantara, datangnya kolonialisme membawa perubahan besar.
Pengaruh Belanda mulai masuk ke Buol pada abad ke-19.
Meski awalnya berupaya mempertahankan kedaulatan, kekuasaan tradisional perlahan bergeser ke sistem administrasi kolonial.
Namun, semangat perlawanan dan jati diri lokal tidak pernah padam di hati rakyatnya.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Buol tetap menjadi bagian penting dari struktur administratif Sulawesi.
Transformasi menuju pemerintahan modern mulai dipacu pada akhir abad ke-20, ketika semangat otonomi daerah menggema di seluruh negeri.
Pada 1999, lahirlah Kabupaten Buol sebagai daerah otonom hasil pemekaran dari Kabupaten Buol-Tolitoli.
Saat itu, tonggak sejarah baru pun dimulai dengan pengangkatan Ir. Abdul Karim Mbouw sebagai penjabat bupati pertama.
Di bawah kepemimpinannya, struktur pemerintahan daerah dibangun dari nol, mencakup sistem birokrasi, pelayanan publik, hingga pembentukan kecamatan dan desa-desa administratif baru.
Jabatan tersebut kemudian diteruskan oleh Drs. A. Karim Hanggi, yang dikenal sebagai pejabat bupati kedua.
Masa transisi ini menjadi periode penting bagi konsolidasi pemerintahan lokal. Hanggi menata pondasi kelembagaan pemerintahan yang menjadi acuan hingga kini — dari penguatan aparatur sipil hingga pengelolaan potensi ekonomi berbasis sumber daya alam.
Memasuki tahun 2007, sosok Amran Batalipu mengambil tongkat estafet kepemimpinan. Ia dikenal sebagai figur yang karismatik dan populis, berupaya membangun identitas Buol yang lebih modern dan inklusif.
Di masa kepemimpinannya, infrastruktur mulai tumbuh: jalan antar-kecamatan diperkuat, sektor pertanian digalakkan, dan akses menuju pesisir diperluas.
Namun, perjalanan sejarah tak selalu mulus. Setelah berakhirnya masa kepemimpinan Amran, estafet pemerintahan berpindah ke tangan Amirudin Rauf pada tahun 2012. Ia memimpin hingga saat ini dengan semangat pembangunan berkelanjutan, menekankan pentingnya sinergi antara tradisi lokal dan inovasi modern. Amirudin dikenal dengan gaya kepemimpinan yang bersahaja namun visioner.
Di bawah pemerintahannya, Buol berupaya menata wajah baru daerah: mengembangkan wisata budaya, memperkuat sektor perikanan, serta mendorong digitalisasi layanan publik di tingkat desa. Visi ini membawa Buol selangkah lebih dekat menuju kabupaten cerdas (smart regency) di wilayah timur Indonesia.
Namun, di balik segala kemajuan, identitas budaya tetap menjadi napas utama masyarakat Buol. Tradisi mominting (gotong royong), molabot (musyawarah), hingga ritual adat dalam penyambutan tamu masih dilestarikan dengan bangga.
Di setiap upacara adat, semangat persaudaraan dan penghormatan terhadap leluhur selalu menjadi inti perayaan.
Buol bukan sekadar kabupaten di peta administratif Sulawesi Tengah. Ia adalah ruang hidup yang menghubungkan masa lalu dan masa depan — tempat sejarah tidak sekadar disimpan, tapi terus dihidupkan dalam keseharian warganya.
Generasi muda Buol kini tumbuh dengan kesadaran baru: bahwa kemajuan tidak harus berarti meninggalkan akar budaya. Di kampus-kampus dan ruang publik, diskusi tentang sejarah dan identitas Buol kian menggeliat.
Mereka menulis, mendokumentasikan, dan menyuarakan kembali kisah yang dulu hanya tersimpan di lisan para tetua.
Seiring langkahnya menapaki abad ke-21, Buol meneguhkan diri sebagai kabupaten yang berdaya, berbudaya, dan terbuka terhadap perubahan.
Dari kerajaan Ndubu I hingga pemerintahan Amirudin Rauf, perjalanan panjang ini menunjukkan satu hal: bahwa kemajuan sejati selalu berpijak pada sejarah dan karakter bangsa sendiri.
Kini, di tengah semarak pembangunan Sulawesi Tengah, Buol berdiri sebagai cermin dari daya tahan dan kebijaksanaan lokal.
Sebuah daerah kecil di utara yang menyimpan pesan besar: masa depan hanya dapat tumbuh dengan menghormati masa lalu, dibawah kepemimpinan Bupati Buol saat ini H Risharyudi Triwibowo, M.Si ***








