Alasannews.com | Ketapang, Kalimantan Barat – Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Wartawan Online Indonesia (DPD IWO-I) Kabupaten Ketapang, Mustakim, mengecam keras tindakan warga negara asing (WNA) yang bekerja sebagai tenaga kerja asing (TKA) dan diduga melakukan kekerasan terhadap warga sipil serta lima anggota TNI di area PT Sultan Rafli Mandiri (SRM), Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, pada 14 Desember 2025 sore.
Menurut Mustakim, tindakan kekerasan terhadap aparat negara merupakan pelanggaran serius terhadap hukum nasional dan tidak dapat ditoleransi dalam bentuk apa pun.
Sebelumnya, Kepala Seksi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian (Kasi Tikim) Kantor Imigrasi Kelas II Non-TPI Ketapang, Ida Bagus Putu Widia Kusuma, membenarkan adanya insiden yang melibatkan 15 WNA asal Tiongkok.
Keterangan tersebut disampaikan saat yang bersangkutan ditemui awak media bersama Ketua IWO-I dan LSM TINDAK Indonesia di ruang Seksi Dokumen dan Izin Tinggal Keimigrasian, Selasa, 16 Desember 2025.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan awal, 15 WNA tersebut diketahui memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) sebagai tenaga kerja monitoring alat di PT Sultan Rafli Mandiri,” ujar Ida Bagus.
Meski demikian, saat ditanya mengenai jumlah pasti serta durasi keberadaan para WNA di Kabupaten Ketapang, pihak Imigrasi mengaku belum dapat menyampaikan data secara rinci. “Kami harus membuka data terlebih dahulu,” tambahnya.
Selain itu, seluruh WNA tersebut saat ini masih menjalani pemeriksaan keimigrasian secara mendalam dan sementara ditempatkan di shelter Imigrasi Ketapang.
Sementara itu, Direktur Utama PT Sultan Rafli Mandiri, Firman, bersama tim kuasa hukum mendatangi Polda Kalimantan Barat pada Selasa, 16 Desember 2025. Kedatangan tersebut bertujuan untuk melaporkan dugaan kekerasan serta perusakan aset perusahaan yang diduga dilakukan oleh para WNA.
Dalam konferensi pers di Mapolda Kalbar, kuasa hukum PT SRM, Muhammad Faris, menjelaskan bahwa Firman baru menjabat sebagai Direktur Utama sejak 4 Juli 2025.
Ia menegaskan bahwa para WNA tersebut direkrut dan dijamin oleh kepengurusan lama. Setelah terjadi pergantian direksi, manajemen baru PT SRM telah mengajukan pencabutan penjaminan WNA ke Kantor Imigrasi Kelas II Non-TPI Ketapang. Namun, hingga kini, proses tersebut belum ditindaklanjuti.
Berdasarkan hasil investigasi DPD IWO Indonesia dan LSM TINDAK Indonesia Kabupaten Ketapang, jumlah WNA yang berada di lokasi diduga mencapai 34 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 29 orang telah dilakukan pemeriksaan oleh pihak berwenang.
Tim investigasi juga memperoleh data identitas 34 WNA, yang selanjutnya akan diserahkan kepada aparat penegak hukum guna kepentingan pendalaman lebih lanjut.
Kecaman Tegas Ketua DPD IWO-I Ketapang.,
Menanggapi fakta-fakta tersebut, Mustakim menilai bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh TKA terhadap anggota TNI merupakan perbuatan yang mencederai kedaulatan hukum Indonesia.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi keimigrasian. Ketika TKA berani melakukan kekerasan terhadap TNI, maka negara harus hadir dan bertindak tegas,” kata Mustakim.
Ia juga menyoroti hasil inspeksi mendadak Kementerian Ketenagakerjaan yang menemukan 364 tenaga kerja asing ilegal. Menurutnya, kondisi tersebut memperkuat dugaan adanya praktik mafia WNA yang terorganisir.
“Dampaknya sangat merugikan daerah dan masyarakat. Pendapatan asli daerah berkurang, lapangan pekerjaan hilang, dan yang diuntungkan hanyalah jaringan mafia TKA,” tegasnya.
Oleh karena itu, Mustakim mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kapolri, Kejaksaan Agung, serta instansi terkait untuk mengusut tuntas dugaan mafia WNA tersebut. “Ini bukan pemain tunggal. Pasti ada banyak pihak yang terlibat,” ujarnya.
Di sisi lain, Supriadi dari LSM TINDAK Indonesia menilai bahwa dugaan kekerasan, perusakan aset, serta aktivitas pemantauan menggunakan drone di area PT SRM menunjukkan bahwa para WNA tersebut patut dipertanyakan status dan afiliasinya.
“Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar. Mereka berasal dari pihak mana dan siapa yang mengoordinir aktivitas mereka?” ungkap Supriadi.
Ia juga mempertanyakan lambannya respons pihak Imigrasi meskipun direksi baru PT SRM telah mengajukan pencabutan jaminan. Menurutnya, kondisi tersebut berpotensi menimbulkan dugaan pembiaran.
Lebih lanjut, Supriadi meminta aparat penegak hukum untuk segera menggelar konferensi pers secara terbuka. “Publik berhak mengetahui di mana mereka tinggal, siapa yang memfasilitasi kebutuhan mereka, serta ke mana sisa WNA yang belum diperiksa,” tegasnya.(*/Gun)



