Alasannews.com | SANGGAU, KALBAR — 19 Desember 2025 |Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) kembali marak di sejumlah aliran sungai di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Praktik tambang ilegal ini tidak hanya menyebabkan kerusakan serius terhadap ekosistem sungai, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat yang selama ini bergantung pada sungai sebagai sumber air bersih dan mata pencaharian.
Berdasarkan pantauan dan keterangan warga setempat, puluhan mesin tambang ilegal terlihat beroperasi secara terbuka di sepanjang aliran sungai. Kondisi air yang sebelumnya jernih kini berubah menjadi keruh kecokelatan, berlumpur, dan tidak lagi layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, maupun konsumsi rumah tangga. Dampak lainnya, hasil tangkapan ikan warga dilaporkan menurun drastis dalam beberapa bulan terakhir.
“Dulu air sungai bisa langsung dipakai mandi dan mencuci. Sekarang kami sudah tidak berani lagi karena airnya kotor dan berbau,” ujar seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Warga menduga kuat aktivitas PETI tersebut menggunakan bahan kimia berbahaya, seperti merkuri, yang dikenal berisiko tinggi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Paparan merkuri dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan saraf, kerusakan organ tubuh, serta berdampak fatal bagi ekosistem perairan.
Ironisnya, menurut pengakuan warga, aktivitas PETI ini bukan kali pertama ditertibkan. Aparat penegak hukum disebut telah beberapa kali melakukan razia dan penindakan. Namun, penertiban tersebut dinilai tidak memberikan efek jera. Pasalnya, hanya berselang sekitar satu minggu setelah razia, aktivitas tambang ilegal kembali beroperasi di lokasi yang sama.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius di tengah masyarakat mengenai efektivitas penegakan hukum dan dugaan adanya pihak-pihak tertentu yang bermain di balik maraknya PETI. Warga menilai para pelaku seolah “kebal hukum” karena dapat kembali beroperasi meski telah berulang kali ditertibkan.
Secara hukum, aktivitas PETI jelas melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ditegaskan bahwa setiap kegiatan pertambangan wajib memiliki izin resmi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Selain itu, praktik PETI juga melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam regulasi tersebut, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dapat dipidana penjara dan dikenai denda miliaran rupiah, serta diwajibkan melakukan pemulihan lingkungan.
Sejumlah pemerhati lingkungan menilai bahwa penanganan PETI tidak cukup hanya dengan razia sesaat. Diperlukan langkah penegakan hukum yang konsisten, transparan, dan menyasar tidak hanya para pekerja lapangan, tetapi juga aktor intelektual dan pemodal yang diduga menjadi dalang di balik aktivitas tambang ilegal tersebut. Selain penindakan hukum, pemulihan ekosistem sungai yang telah rusak dinilai mendesak untuk segera dilakukan.
Di sisi lain, pemerintah daerah juga didorong untuk menghadirkan solusi jangka panjang melalui penyediaan alternatif mata pencaharian yang layak bagi masyarakat sekitar. Tanpa kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil, aktivitas PETI dikhawatirkan akan terus berulang dan menjadi masalah lingkungan yang kronis.
Hingga Berita ini diturunkan, pihak berwenang menyatakan akan melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait aktivitas PETI di wilayah Sungai Sanggau serta menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak-pihak tertentu yang diduga membekingi praktik ilegal tersebut.
Sumber: Tim Investigasi
Redaksi


